BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Mendefinisikan komunikasi politik memang tidak cukup hanya dengan menggabungkan dua definisi “komunikasi” dan “politik”. Ia memiliki konsep tersendiri, meskipun secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep tersebut. Komunikasi dan politik dalam wacana ilmu pengetahuan manusia merupakan dua wilayah pencarian yang masing-masing dapat dikatakan relatif berdiri sendiri. Namun keduanya memiliki kesamaan-kesamaan sebab memiliki objek material yang sama yaitu manusia. Kesamaan objek material ini membuat kedua disiplin ilmu itu tidak dapat menghindari adanya pertemuan bidang kajian. Hal ini deisebabkan karena masing-masing memiliki sifat interdisipliner, yakni sifat yang memungkinkan setiap disiplin ilmu membuka isolasi dan mengembangkan kajian kontekstualnya. Komunikasi mengembangkan bidang kajian yang beririsan dengan disiplin ilmu lainnya, seperti sosiologi dan psikologi, dan hal yang sama berlaku pula pada ilmu politik (Syam, 2002:18).
Komunikasi politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan dimensi-dimensi politik serta dengan segala aspek dan problematikanya. Kesulitan mendefinisikan komunikasi politik terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut pandang terhadap kompleksitas realitas sehari-hari. Kalaupun komunikasi dipahami secara sedehana sebagai “proses penyampaian pesan”, tetap saja akan muncul pertanyaan, apakah dengan demikian komunikasi politik berarti “proses penyampaian pesan-pesan politik.“ Lalu apa yang disebut dengan pesan-pesan politik itu? Berkenaan dengan hal tersebut, sebelum memhami konsep dasar komunikasi politik.
Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo). Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.
Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –“penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
BAB II
PEMBAHASAN (ISI)
A. KOMUNIKATOR POLITIK
Salah satu ciri dari komunikasi adalah bahwa orang jarang dapat menghindari keikutsertaan (partisipasi). Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain pun bisa memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua adalah komunikator. Siapapun yang berada dalam setting politik bisa disebut sebagai komunikator politik. Komunikator politik disini adalah orang yang secara tetap dan berkesinambungan melakukan komunikasi politik. Oleh karenanya kemudian komunikator politik ini akan dititiktekankan kepada pemimpin proses politik dalam membentuk suatu opini.
Sosiolog J.D Halloran, seorang pengamat komunikasi massa, berpendapat bahwa banyak studi komunikasi mengabaikan satu karakteristik proses yang penting, yakni komunikasi terjadi di dalam suatu matriks sosial. Situasi tempat dimana komunikasi bermula, berkembang, dan berlangsung terus-menerus. Situasi sosial yaitu hubungan antara komunikator dengan khalayaknya, yang merupakan bagian integral dari sistem sosial ini. Meskipun anggapan ini sederhana, tulis Halloran, ketidak pekaan banyak ahli teori komunikasi telah mengakibatkan “ketidakseimbangan”, mereka lebih banyak mencurahkan kepada penelitian akibat komunikasi ketimbang kepada komunikator. Para perumus teori terlalu mudah mengabaikan “komunikator masssa sebagai orang yang menduduki posisi penting yang peka di dalam jaringan sosial, menanggapi berbagai tekanan dengan menolak dan memilih informasi yang semuanya terjadi di dalam sistem sosial yang bersangkutan”.
Apa yang dikatakan oleh Halloran tentang komunikator massa, berlaku juga bagi komunikator politik. Komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan suatu opini publik. Salah satu teori opini publik yang seluruhnya dibangun di sekitar komunikator politik, yaitu teori pelopor mengenai opini publik. Dalam hal ini menegaskan bahwa pemimpin menciptakan opini publik karena mereka berhasil membuat beberapa gagasan yang mula-mula ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima. Karena itu opini publik disini dipahami sebagai sejenis tanggapan publik terhadap pemikiran dan usaha para aristokrat (pemuka pendapat) pikiran itu menciptakan pemikiran-pemikiran baru, gagasan-gagasan baru, dan argumen-argumen baru.
B. MENGIDENTIFIKASI KOMUNIKATOR UTAMA
Komunikator politik memiliki kesamaan sifat dengan komunikator massa dimana seorang komunikasi massa adalah seorang yang menduduki posisi penting dan peka terhadap jaringan sosial, menanggapi berbagai tekanan dengan menolak dan memilih informasi yang semua terjadi dalam sistem sosial yang bersangkutan. Meskipun setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, namun yang melakukannya secara tetap dan berkesinambungan jumlahnya relatif sedikit. Walaupun sedikit, para komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Dan Nimmo (1989) mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut: politikus; professional; dan aktivis.
1. Politikus
Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudukatif. membedakan politikus ke dalam dua hal yang berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan kepentingan politikus pada proses politik. Yaitu politikus ideolog (negarawan); serta politikus partisan. Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangkan kepentingan bersama/publik. Mereka tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya. Mereka lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahkan reformasi, bahkan mendukung perubahan revolusioner-jika hal ini mendatangkan kebaikan lebih bagi bangsa dan negara. Politikus partisan adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangan kepentingan seorang langganan atau kelompoknya.
Dengan demikian, politikus utama yang bertindak sebagai komunikator politik yang menentukan dalam pemerintah Indonesia adalah: para pejabat eksekutif (presiden, menteri, gubernur, dsb.); para pejabat eksekutif (ketua MPR, Ketua DPR/DPD, Ketua Fraksi, Anggota DPR/DPD, dsb.); para pejabat yudikatif (Ketua/anggota Mahkamah Agung, Ketua/anggota Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, jaksa, dsb.).
2. Profesional
Profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi. Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa; dan perkembangan serta merta media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media massa maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-lambang dan khalayak khusus. Di sini masuklah komunikator profesional yang mengendalikan keterampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol dan yang memanfaatkan keterampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan orang-orang yang jelas perbedaannya atau kelompo-kelompok yang dibedakan mengatakan bahwa komunikator profesional adalah makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain ang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional beroperasi (menjalankan kegiatannya) di bawah desakan atau tuntutan yang, di satu pihak, dibebabnkan oleh khalayak akhir dan, di lain pihak , oleh sumber asal. Seperti politikus yang dapat dibedakan politikus ideolog dan partisan, profesional mencakup para jurnalis pada satu sisi, dan para promotor pada sisi lain.
Jurnalis adalah orang orang yang berkaitan dengan media berita dalam pengumpulan, persiapan, penyajian, dan penyerahan laporan mengenai peristiwa-peristiwa. Ini meliputi reporter yang bekerja pada koran, majalah, radio, televisi, atau media lain; koordinator berita televisi; penerbit; pengarah berita; eksekutif stasiun atau jaringan televisi dan radio; dan sebagainya. Sebagai komunikator profesional, jurnalis secara khas adalah karyawan organisasi berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para politikus untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan politikus dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.
Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, pejabat informasi publik pada jawatan pemerintah, skretaris pers kepresidenan, personel periklanan perusahaan, manajer kampanye dan pengarah publisitas kandidat politik, spesialis teknis (kameraman, produser dan sutradara film, pelatih pidato, dsb.) yang bekerja untuk kepentingan kandidat politik dan tokoh masyarakat lainnya, dan semua jenis makelar simbol yang serupa.
3. Aktivis
Aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah; dalam hal ini komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan kerjanya. Jurubicara ini biasanya juga bukan profesional dalam komunikasi. namun, ia cukup terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus partisan, yakni mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi. Dalam hal lain jurubicara ini sama dengan jurnalis, yakni melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi. Juru bicara kepentingan terorganisasi bisa juga disebut penyambung lidah kepentingan organisasi contohnya pemimpin gerakan sosial, hasyim muzadi juru bicara Ormas NU.
Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak dalam jaringan interpersonal. Sebuah badan penelitian yang besar menunjukkan bahwa banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis, meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka. Apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau memperkuat putusan yang telah dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat. Mereka tampil dalam dua bidang: a. Mereka sangat mempengaruhi keputusan orang lain; artinya, seperti politikus ideologis dan promotor profesional, mereka meyakinkan orang lain kepada cara berpikir mereka. b. Mereka meneruskan informasi politik dari media berita kepada masyarakat umum. Dalam arus komunikasi dua tahap gagasan sering mengalir dari media massa kepada pemuka pendapat dan dari mereka kepada bagian penduduk yang kurang aktif . banyak studi yang membenarkan pentingnya kepemimpinan pendapat melalui komunikasi interpersonal sebagai alat untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang penting.
C. KOMUNIKATOR POLITIK DAN KEPEMIMPINAN POLITIK
Dalam menandai satu jenis komunikator politik sebagai pemuka pendapat kita perlu ingat akan hubungan antara komunikasi adan kepemimpinan politik.
Karakteristik kepemimpinan politik.
Cecil A.Gibba menunjukkan bahwa gejala yang disebut kepemimpinan tekah menarik perhatian para pemikir sejak sekurang-kurangnya masa konfusius. Dari pemikiran tersebut mucul banyak definisi mengenai apa kepemimpinan itu. Misalnya dari definisi-definisi tersebut: “seperangkat fungsi kelompok yang harus terjadi dalam setiap kelompok jika kelompokk tersebut harus berperilaku secara efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya”. “proses ketika seorang individu secra konsisten menimbulkan lebih banyak pengaruh daripada orang lain dalam melaksanakan fungsi kelompok”. “pemimpin adalah orang tertentu di dalam kelompok yang bertugas mengarahkan dan mengoordinasi kegiatan kelomok yang bertugas mengarahkan dan mengordinasi kegiatan kelompok yang bertalian dengan tugas.
Dari banyaknya definisi, sebenarnya ada empat yang mendominasi kepustakaan dari definisi kepemimpina tersebut:
• Teori pertama berpendapat bahwa pemimpin berbeda dengan massa rakyat karena mereka memiliki ciri atau sifat sendiri yang sangat dihargai. Semua jenis pemimpin di dalam segala macam setting dan budaya memiliki sifat tersendiri ini. Suatu variasi dari tema ini adalah teori orang besar, yakni bahwa orang yang memiliki keinginan, sifat , dan kemampuan istimewa muncul sewaktu-waktu dalam sejarah dan ditakdirkan untuk melakukan hal-hal yang besar. Ex: Napoleon, Gandhi, Yesus Kristus, dan sebagainya.
• Teori kedua adalah bahwa ada tiga jenis pemimpin yang keranjingan sifat-sifat tertentu yang membuatnya tersendiri: manusia ulung yang menghancurkan kaidah-kaidah tradisonal dan menciptakan nilai-nilai baru bagi suatu bangsa, pahlwan yang mengabdikan dirinya untuk tujuan besar dan mulia, pangeran yang termotivasi oleh hasrat untuk mednominasi pangeran-pangeran lainnya. Namun teori ini memberikan kesulitan yaitu para sarjana belum bisa menemukan sifat tersendiri tunggal, atau bahkan sejumlah terbatas sifat yang membedakan yang dimiliki oleh semua pemimpin di mana pun. Hal ini akan membwa pada teori kedua yaitu konstelasi sifat. Dalam teori ini, pemimpin memiliki sifat yang sama dengan yang dimiliki oleh siapapun, tetapi memadukan sifat-sifat ini dalam suatu sindrom kepemimpinan yang membedakannya dari orang lain. Oleh sebab itu misalnya pemimpin bisa menonjol karena lebih tinggi, leebih besar, lebih bersemangat, lebih intelejen, percaya diri, tenang, dan lain sebaginya. Dalam meninjau beraneka studi kepemimpinan ini Stogdill mengamati bahwa para pemimpin memang meiliki beberapa sifat yang derajatnya sedikit lebih tinggi daripada bukan pemimpin(misalnya dorongan, tahap terhadap tekanan, tidak bergantung pada orang lain dalammemecahkan maslah,dll). namun ia menyimpulkan bahwa hal ini hanya menunjukkan bahwa kepribadian adalah faktor dalam membedakan kepemimpinan, adanya sindrom ini tidakmenjamin peran pemimpin bagi seseorang, begitu pula tidakadanya sindrom menyebabkan seseorang tidak cocok untuk menjadi pemimpin.
• Teori ketiga yaitu situasionalis. Teori hanya berpendapat bahwa waktu, tempat, dan keadaan menentukan siapa yg memimpin, siapa yang pengikut. Pengkritik aliran ini bagaimanapun menunjukkan bahwa teori ini tidak mampu menenrangkan bagaimana tipe pemimpin yang mucul dalam situasi yang berbeda atau mengapa dalam beberapa setting tidak dapat diidentifikasi pemimpin yang dapat dilihat.
• Teori keempat adalah bahwa kepemimpinan merefleksikan interaksi kepribadian para pemimpin dengan kebutuhan dan pengharapan para pengikut, karakteristik dan tugas kelompoknya, dan situasi. Jadi ia berusaha menerangkan beberapa faktor yang pada umumnya bertalian dengan pendefisian kepemimpinan.
Meskipun terdapat banyak definisi mengenai kepemimpinan, ada konsesus umum bahwa kepemimpinan (dan akibatnya yang tidak dapat dipisahkan, kepengikutan) adalah suatu hubungan di antara orang-orang di dalam suatu kelompok yang di dalamnya satu atau lebih orang(pemimpin) mempengaruhi yang lain(pengikut) di dalam setting tertentu. kita harus hati-hati tentang apa yang terkibat dalam hubungan dalam pengaruh ini dan menunjuk beberapa orang menjadi pemimpin, yang lain menjadi pengikut. Apa yang tidak terlibat ialah anggapan bahwa para pemimpin dengan sifat-sifat terpilih muncul secara independen dan memberikan atau menggunakan pengaruh terhadap para pengikut. Apa yang terlibat ial;ah suatu hubungan sosial di mana pengharapan-pengharapan bersama muncul melalui komunikasi untuk mendefinisikan dan memberikan makna kepada berbagai peran.
D. KOMUNIKATOR POLITIK SEBAGAI PEMIMPIN POLITIK
Perbedaan tugas dan emosi dalam kepemimpinan
Menurut seorang ilmuwan bernama Lewis Froman, terdapat enam kecenderungan yang membedakan seorang pemimpin dengan bukan seorang pemimpin di dalam suatu kelompok, di mana ke enam kecenderungan tersebut dapat dijelaskan melalui kecenderungan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai berikut ini.
1. Memperoleh kepuasan yang lebih beragam karena menjadi anggota kelompok.
2. Lebih kuat dalam memegang nilai – nilai mereka.
3. Memiliki kepercayaan yang lebih besar tentang kelompok itu dan hubungannya dengan kelompok lain, seperti mengenai pemerintah, masalah politik dan sebagainya.
4. Kurang kemungkinannya untuk berubah kepercayaan, nilai, dan pengharapannya karena tekanan yang diberikan kepadanya.
5. Lebih mungkin membuat keputusan mengenai kelompok berdasarkan kepercayaan, nilai, dan pengharapan sebelumnya.
6. Lebih berorientasi kepada masalah, terutama mengenai masalah yang menyangkut perolehan material, alih – alih kepuasan yang kurang nyata atau pertanyaan yang penuh emosi.
Adapun kecenderungan – kecenderungan yang membedakan antara seorang pemimpin dan bukan seorang pemimpin di atas tersebut secara jelas lebih menunjukkan perbedaan antara seorang pemimpin dan seorang yang tak acuh daripada antara seorang pemimpin dan seorang pengikut, karena penjelasa pemimpin dan pengikut bukan merupakan tanda yang berlawanan.
Berkaitan dengan sub tema ini kemudian dijelaskan pula mengenai orientasi seorang pemimpin yang menurut hasil penelitian di bagi kedalam dua poin penting, yaitu :
1. Pemimpin yang berorientasikan tugas.
Dalam hal ini pemimpin menetapkan dan bekerja untuk mencapai prestasi atau tujuan kelompok, mengorganisasi agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan misalnya membentuk panitia dan hubungan atasan – bawahan, memikirkan jadwal dan batas waktu, dan sebagainya.
2. Pemimpin yang berorientasikan orang, sosial atau emosi.
Dalam hal ini pemimpin lebih cenderung memberikan perhatian terhadap hal – hal yang berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan pengikut, penciptaan hubungan pribadi yang hangat, pengembangan rasa saling percaya, pengasuhan kerja sama, dan pencapaian solidaritas sosial.
Tipe kepemimpinan tugas maupun kepemimpinan emosional tidak ada yang jauh lebih unggul, karena dua tipe kepemimpinan ini akan sangat dibutuhkan dalam setiap kelompok, bergantung pada situasinya. Dan peran dari dua tipe kepemimpinan ini dapat dimainkan sekaligus oleh satu orang. Seperti yang dilakukan para politikus, profesional, dan aktivis yang lebih sering menggabungkan gaya tugas dan emosi sebagai peran pemimpin politiknya.
Pemimpin organisasi dan pemimpin simbolik dalam politik
Sub tema ini akan menjelaskan mengenai perbedaan di antara pemimpin organisasi yang jabatannya secara struktural diakui dengan pemimpin yang hanya bersifat simbolik saja. Adapun perbedaan tersebut secara lebih detail dapat dijelaskan seperti berikut ini.
1. Pemimpin Organisasi.
Dalam hal ini seorang komunikator merupakan pemimpin karena posisi yang diduduki mereka di dalam struktur sosial atau kelompok terorganisasi yang ditetapkan dengan jelas. Dan diluar mereka sering kali tidak tidak banyak artinya bagi orang lain.
2. Pemimpin Simbolik
Pemimpin dalam hal ini merupakan pemimpin karena arti yang ditemukan orang di dalam dirinya sebagai manusia, kepribadian, tokoh yang ternama, dan sebagainya. Dan bukan karena posisi mereka secara struktural dalam suatu organisasi.
Ikatan komunikasi di antara pemimpin dan pengikut
Seorang ilmuwan bernama Robert Salisbury menganalogikan ikatan atara pemimpin dan pengikut sama seperti dengan pengusaha dan pelanggan. Hal ini berarti bahwa seorang pemimpin kepentingan yang terorganisasi, misalnya, memberi dorongan untuk menciptakan kelompok dengan menyajikan insentif kepada orang – orang yang menjadi anggota kelompok. Di mana insentif ini berfungsi sebagai penukar “biaya” mereka untuk bergabung dan memberikan dukungan.
Adapun Salisbury juga menjelaskan mengenai tiga keuntungan utama yang akan diperoleh pengikut dari transaksi kepemimpinan – kepengikutan ini. Tiga keuntungan utama tersebut adalah sebagai berikut.
1. Memiliki keuntungan material.
Keuntungan ini terdiri atas ganjaran berupa barang atau jasa seperti pekerjaan, tingkat pajak yang dipilih, kontrak pemerintah, perbaikan jalan, perumahan yang memadai, tingkat harga dan upah yang dapat diterima, dan sebagainya.
2. Memiliki keuntungan solidaritas
Keuntungan ini mencakup ganjaran sosial atau hanya bergabung dengan orang lain dalam kegiatan bersama seperti sosialisasi, persahabatan, kesadaran status, identifikasi kelompok, keramahan dan kegembiraan.
3. Memiliki keuntungan ekspresif
Keuntungan ini berkaitan dengan suatu tindakan dari yang bersangkutan dalam hal mengungkapkan kepentingan atau nilai seseorang atau kelompok, yang dilakukan bukan secara instrumental mengejar kepentingan atau nilai.
Citra rakyat tentang komunikator politik dan pemimpin politik
Persepsi pemberi suara terhadap para calon yang mengesankan pada dasarnya didasari oleh dua hal, yaitu
1. Berkaitan dengan peran, yang meliputi pengalaman dan latar belakang (jika ada) dalam jawatan pemerintahan, pengalaman dan kualifikasinya, catatan dan asosiasi dalam politik partisan dan atribut lain yang bertalian dengan pelaksanaan pekerjaan yang berorientasikan tugas.
2. Berkaitan dengan gaya, yang meliputi atribut – atribut pribadi yang dipersepsi (kejujuran, itelenjensi, penampilan fisik dan lain sebagainya) serta keterampilan sebagai aktor drama (bagaimana ia tampak dalam penampilan pribadi, penyajian televisi, debat dan sebagainya).
Pada umumnya kebanyakan pemberi suara lebih menekankan gaya daripada mutu peran dalam hal pemilihan calon, di mana sebagian dari mereka mencari ikatan emosional di antara mereka sendiri dan yang berusaha untuk mendapatkan dukungan mereka.
Karakteristik sosial pemimpin politik
Secara umum semua hasil studi menunjukkan dan menemukan bahwa karakteristik sosial dari seorang pemimpin politik secara nyata berbeda dari populasi umum kebanyakan. Di samping itu hasil studi juga menemukan bahwa mereka, para pemimpin politik berbeda dalam segi – segi lain seperti berbeda dalam tingkat keterlibatan politik, kepercayaan politik, nilai dan pengharapan serta pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan.
Pemilihan pemimpin politik
Pemilihan pemimpin politik dalam hal ini berlangsung dalam banyak kotak atau tahapan. Di mana tahapan ini dibagi kedalam enam tahap utama yang terdiri dari :
1. Pemilihan terhadap yang memenuhi syarat di antara populasi umum, yaitu terhadap semua orang yang disahkan secara hukum untuk mengambil bagian dalam politik dan untuk memegang jabatan.
2. Pemilihan terhadap orang – orang yang mampu (available) atau orang – orang yang memiliki sumber daya yang diperlukan, terutama berkaitan dengan sumber daya sosial dan ekonomi untuk melibatkan diri dalam politik.
3. Pemilihan partisipan politik, yaitu pemilihan terhadap orang – orang yang memiliki minat dan motivasi terhdap politik melalui sosialisasi masa kanak – kanak, sehingga menjadi menaruh perhatian pada politik setelah dewasa karena suatu peristiwa atau masalah.
4. Memilih kira – kira tiga perempat dari jumlah yang mampu, kelompok yang lebih kecil lagi yang menjadi partisipan (sekitar 10 persen dari orang – orang yang mampu). Di mana kelompok ini disebut dengan para konsisten, yaitu orang – orang yang memiliki perhatian yang berkesinambungan terhdap politik, yang sesuai dengan uraian mengenai komunikator politik utama.
5. Penetapan calon atau kandidat bagi jabatan pemerintahan.
6. Mengikuti kampanye pemilihan, yang merupakan tahapan akhir dalam proses pemilihan pemimpin organisasi.
Secara singkatnya dapat kita ketahui bahwa komunikator politik yang menjadi pemimpin dalam organisasi pemerintah tidak dipilih secara acak, melainkan dipilih secara selektif melalui berbagai tahapan yang kemudian menjadikan mereka masuk dalam pengkelompokan yang lebih kecil lagi yang memenuhi ketetapan dari syarat, kemampuan, partisipasi, konsistensi, kandidat dan yang terpilih.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Mendefinisikan komunikasi politik memang tidak cukup hanya dengan menggabungkan dua definisi “komunikasi” dan “politik”. Ia memiliki konsep tersendiri, meskipun secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep tersebut. Komunikasi dan politik dalam wacana ilmu pengetahuan manusia merupakan dua wilayah pencarian yang masing-masing dapat dikatakan relatif berdiri sendiri. Namun keduanya memiliki kesamaan-kesamaan sebab memiliki objek material yang sama yaitu manusia. Kesamaan objek material ini membuat kedua disiplin ilmu itu tidak dapat menghindari adanya pertemuan bidang kajian. Hal ini deisebabkan karena masing-masing memiliki sifat interdisipliner, yakni sifat yang memungkinkan setiap disiplin ilmu membuka isolasi dan mengembangkan kajian kontekstualnya. Komunikasi mengembangkan bidang kajian yang beririsan dengan disiplin ilmu lainnya, seperti sosiologi dan psikologi, dan hal yang sama berlaku pula pada ilmu politik (Syam, 2002:18).
Komunikasi politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan dimensi-dimensi politik serta dengan segala aspek dan problematikanya. Kesulitan mendefinisikan komunikasi politik terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut pandang terhadap kompleksitas realitas sehari-hari. Kalaupun komunikasi dipahami secara sedehana sebagai “proses penyampaian pesan”, tetap saja akan muncul pertanyaan, apakah dengan demikian komunikasi politik berarti “proses penyampaian pesan-pesan politik.“ Lalu apa yang disebut dengan pesan-pesan politik itu? Berkenaan dengan hal tersebut, sebelum memhami konsep dasar komunikasi politik.
Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo). Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.
Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –“penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
BAB II
PEMBAHASAN (ISI)
A. KOMUNIKATOR POLITIK
Salah satu ciri dari komunikasi adalah bahwa orang jarang dapat menghindari keikutsertaan (partisipasi). Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain pun bisa memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua adalah komunikator. Siapapun yang berada dalam setting politik bisa disebut sebagai komunikator politik. Komunikator politik disini adalah orang yang secara tetap dan berkesinambungan melakukan komunikasi politik. Oleh karenanya kemudian komunikator politik ini akan dititiktekankan kepada pemimpin proses politik dalam membentuk suatu opini.
Sosiolog J.D Halloran, seorang pengamat komunikasi massa, berpendapat bahwa banyak studi komunikasi mengabaikan satu karakteristik proses yang penting, yakni komunikasi terjadi di dalam suatu matriks sosial. Situasi tempat dimana komunikasi bermula, berkembang, dan berlangsung terus-menerus. Situasi sosial yaitu hubungan antara komunikator dengan khalayaknya, yang merupakan bagian integral dari sistem sosial ini. Meskipun anggapan ini sederhana, tulis Halloran, ketidak pekaan banyak ahli teori komunikasi telah mengakibatkan “ketidakseimbangan”, mereka lebih banyak mencurahkan kepada penelitian akibat komunikasi ketimbang kepada komunikator. Para perumus teori terlalu mudah mengabaikan “komunikator masssa sebagai orang yang menduduki posisi penting yang peka di dalam jaringan sosial, menanggapi berbagai tekanan dengan menolak dan memilih informasi yang semuanya terjadi di dalam sistem sosial yang bersangkutan”.
Apa yang dikatakan oleh Halloran tentang komunikator massa, berlaku juga bagi komunikator politik. Komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan suatu opini publik. Salah satu teori opini publik yang seluruhnya dibangun di sekitar komunikator politik, yaitu teori pelopor mengenai opini publik. Dalam hal ini menegaskan bahwa pemimpin menciptakan opini publik karena mereka berhasil membuat beberapa gagasan yang mula-mula ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima. Karena itu opini publik disini dipahami sebagai sejenis tanggapan publik terhadap pemikiran dan usaha para aristokrat (pemuka pendapat) pikiran itu menciptakan pemikiran-pemikiran baru, gagasan-gagasan baru, dan argumen-argumen baru.
B. MENGIDENTIFIKASI KOMUNIKATOR UTAMA
Komunikator politik memiliki kesamaan sifat dengan komunikator massa dimana seorang komunikasi massa adalah seorang yang menduduki posisi penting dan peka terhadap jaringan sosial, menanggapi berbagai tekanan dengan menolak dan memilih informasi yang semua terjadi dalam sistem sosial yang bersangkutan. Meskipun setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, namun yang melakukannya secara tetap dan berkesinambungan jumlahnya relatif sedikit. Walaupun sedikit, para komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Dan Nimmo (1989) mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut: politikus; professional; dan aktivis.
1. Politikus
Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudukatif. membedakan politikus ke dalam dua hal yang berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan kepentingan politikus pada proses politik. Yaitu politikus ideolog (negarawan); serta politikus partisan. Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangkan kepentingan bersama/publik. Mereka tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya. Mereka lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahkan reformasi, bahkan mendukung perubahan revolusioner-jika hal ini mendatangkan kebaikan lebih bagi bangsa dan negara. Politikus partisan adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangan kepentingan seorang langganan atau kelompoknya.
Dengan demikian, politikus utama yang bertindak sebagai komunikator politik yang menentukan dalam pemerintah Indonesia adalah: para pejabat eksekutif (presiden, menteri, gubernur, dsb.); para pejabat eksekutif (ketua MPR, Ketua DPR/DPD, Ketua Fraksi, Anggota DPR/DPD, dsb.); para pejabat yudikatif (Ketua/anggota Mahkamah Agung, Ketua/anggota Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, jaksa, dsb.).
2. Profesional
Profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi. Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa; dan perkembangan serta merta media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media massa maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-lambang dan khalayak khusus. Di sini masuklah komunikator profesional yang mengendalikan keterampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol dan yang memanfaatkan keterampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan orang-orang yang jelas perbedaannya atau kelompo-kelompok yang dibedakan mengatakan bahwa komunikator profesional adalah makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain ang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional beroperasi (menjalankan kegiatannya) di bawah desakan atau tuntutan yang, di satu pihak, dibebabnkan oleh khalayak akhir dan, di lain pihak , oleh sumber asal. Seperti politikus yang dapat dibedakan politikus ideolog dan partisan, profesional mencakup para jurnalis pada satu sisi, dan para promotor pada sisi lain.
Jurnalis adalah orang orang yang berkaitan dengan media berita dalam pengumpulan, persiapan, penyajian, dan penyerahan laporan mengenai peristiwa-peristiwa. Ini meliputi reporter yang bekerja pada koran, majalah, radio, televisi, atau media lain; koordinator berita televisi; penerbit; pengarah berita; eksekutif stasiun atau jaringan televisi dan radio; dan sebagainya. Sebagai komunikator profesional, jurnalis secara khas adalah karyawan organisasi berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para politikus untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan politikus dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.
Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, pejabat informasi publik pada jawatan pemerintah, skretaris pers kepresidenan, personel periklanan perusahaan, manajer kampanye dan pengarah publisitas kandidat politik, spesialis teknis (kameraman, produser dan sutradara film, pelatih pidato, dsb.) yang bekerja untuk kepentingan kandidat politik dan tokoh masyarakat lainnya, dan semua jenis makelar simbol yang serupa.
3. Aktivis
Aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah; dalam hal ini komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan kerjanya. Jurubicara ini biasanya juga bukan profesional dalam komunikasi. namun, ia cukup terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus partisan, yakni mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi. Dalam hal lain jurubicara ini sama dengan jurnalis, yakni melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi. Juru bicara kepentingan terorganisasi bisa juga disebut penyambung lidah kepentingan organisasi contohnya pemimpin gerakan sosial, hasyim muzadi juru bicara Ormas NU.
Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak dalam jaringan interpersonal. Sebuah badan penelitian yang besar menunjukkan bahwa banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis, meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka. Apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau memperkuat putusan yang telah dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat. Mereka tampil dalam dua bidang: a. Mereka sangat mempengaruhi keputusan orang lain; artinya, seperti politikus ideologis dan promotor profesional, mereka meyakinkan orang lain kepada cara berpikir mereka. b. Mereka meneruskan informasi politik dari media berita kepada masyarakat umum. Dalam arus komunikasi dua tahap gagasan sering mengalir dari media massa kepada pemuka pendapat dan dari mereka kepada bagian penduduk yang kurang aktif . banyak studi yang membenarkan pentingnya kepemimpinan pendapat melalui komunikasi interpersonal sebagai alat untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang penting.
C. KOMUNIKATOR POLITIK DAN KEPEMIMPINAN POLITIK
Dalam menandai satu jenis komunikator politik sebagai pemuka pendapat kita perlu ingat akan hubungan antara komunikasi adan kepemimpinan politik.
Karakteristik kepemimpinan politik.
Cecil A.Gibba menunjukkan bahwa gejala yang disebut kepemimpinan tekah menarik perhatian para pemikir sejak sekurang-kurangnya masa konfusius. Dari pemikiran tersebut mucul banyak definisi mengenai apa kepemimpinan itu. Misalnya dari definisi-definisi tersebut: “seperangkat fungsi kelompok yang harus terjadi dalam setiap kelompok jika kelompokk tersebut harus berperilaku secara efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya”. “proses ketika seorang individu secra konsisten menimbulkan lebih banyak pengaruh daripada orang lain dalam melaksanakan fungsi kelompok”. “pemimpin adalah orang tertentu di dalam kelompok yang bertugas mengarahkan dan mengoordinasi kegiatan kelomok yang bertugas mengarahkan dan mengordinasi kegiatan kelompok yang bertalian dengan tugas.
Dari banyaknya definisi, sebenarnya ada empat yang mendominasi kepustakaan dari definisi kepemimpina tersebut:
• Teori pertama berpendapat bahwa pemimpin berbeda dengan massa rakyat karena mereka memiliki ciri atau sifat sendiri yang sangat dihargai. Semua jenis pemimpin di dalam segala macam setting dan budaya memiliki sifat tersendiri ini. Suatu variasi dari tema ini adalah teori orang besar, yakni bahwa orang yang memiliki keinginan, sifat , dan kemampuan istimewa muncul sewaktu-waktu dalam sejarah dan ditakdirkan untuk melakukan hal-hal yang besar. Ex: Napoleon, Gandhi, Yesus Kristus, dan sebagainya.
• Teori kedua adalah bahwa ada tiga jenis pemimpin yang keranjingan sifat-sifat tertentu yang membuatnya tersendiri: manusia ulung yang menghancurkan kaidah-kaidah tradisonal dan menciptakan nilai-nilai baru bagi suatu bangsa, pahlwan yang mengabdikan dirinya untuk tujuan besar dan mulia, pangeran yang termotivasi oleh hasrat untuk mednominasi pangeran-pangeran lainnya. Namun teori ini memberikan kesulitan yaitu para sarjana belum bisa menemukan sifat tersendiri tunggal, atau bahkan sejumlah terbatas sifat yang membedakan yang dimiliki oleh semua pemimpin di mana pun. Hal ini akan membwa pada teori kedua yaitu konstelasi sifat. Dalam teori ini, pemimpin memiliki sifat yang sama dengan yang dimiliki oleh siapapun, tetapi memadukan sifat-sifat ini dalam suatu sindrom kepemimpinan yang membedakannya dari orang lain. Oleh sebab itu misalnya pemimpin bisa menonjol karena lebih tinggi, leebih besar, lebih bersemangat, lebih intelejen, percaya diri, tenang, dan lain sebaginya. Dalam meninjau beraneka studi kepemimpinan ini Stogdill mengamati bahwa para pemimpin memang meiliki beberapa sifat yang derajatnya sedikit lebih tinggi daripada bukan pemimpin(misalnya dorongan, tahap terhadap tekanan, tidak bergantung pada orang lain dalammemecahkan maslah,dll). namun ia menyimpulkan bahwa hal ini hanya menunjukkan bahwa kepribadian adalah faktor dalam membedakan kepemimpinan, adanya sindrom ini tidakmenjamin peran pemimpin bagi seseorang, begitu pula tidakadanya sindrom menyebabkan seseorang tidak cocok untuk menjadi pemimpin.
• Teori ketiga yaitu situasionalis. Teori hanya berpendapat bahwa waktu, tempat, dan keadaan menentukan siapa yg memimpin, siapa yang pengikut. Pengkritik aliran ini bagaimanapun menunjukkan bahwa teori ini tidak mampu menenrangkan bagaimana tipe pemimpin yang mucul dalam situasi yang berbeda atau mengapa dalam beberapa setting tidak dapat diidentifikasi pemimpin yang dapat dilihat.
• Teori keempat adalah bahwa kepemimpinan merefleksikan interaksi kepribadian para pemimpin dengan kebutuhan dan pengharapan para pengikut, karakteristik dan tugas kelompoknya, dan situasi. Jadi ia berusaha menerangkan beberapa faktor yang pada umumnya bertalian dengan pendefisian kepemimpinan.
Meskipun terdapat banyak definisi mengenai kepemimpinan, ada konsesus umum bahwa kepemimpinan (dan akibatnya yang tidak dapat dipisahkan, kepengikutan) adalah suatu hubungan di antara orang-orang di dalam suatu kelompok yang di dalamnya satu atau lebih orang(pemimpin) mempengaruhi yang lain(pengikut) di dalam setting tertentu. kita harus hati-hati tentang apa yang terkibat dalam hubungan dalam pengaruh ini dan menunjuk beberapa orang menjadi pemimpin, yang lain menjadi pengikut. Apa yang tidak terlibat ialah anggapan bahwa para pemimpin dengan sifat-sifat terpilih muncul secara independen dan memberikan atau menggunakan pengaruh terhadap para pengikut. Apa yang terlibat ial;ah suatu hubungan sosial di mana pengharapan-pengharapan bersama muncul melalui komunikasi untuk mendefinisikan dan memberikan makna kepada berbagai peran.
D. KOMUNIKATOR POLITIK SEBAGAI PEMIMPIN POLITIK
Perbedaan tugas dan emosi dalam kepemimpinan
Menurut seorang ilmuwan bernama Lewis Froman, terdapat enam kecenderungan yang membedakan seorang pemimpin dengan bukan seorang pemimpin di dalam suatu kelompok, di mana ke enam kecenderungan tersebut dapat dijelaskan melalui kecenderungan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai berikut ini.
1. Memperoleh kepuasan yang lebih beragam karena menjadi anggota kelompok.
2. Lebih kuat dalam memegang nilai – nilai mereka.
3. Memiliki kepercayaan yang lebih besar tentang kelompok itu dan hubungannya dengan kelompok lain, seperti mengenai pemerintah, masalah politik dan sebagainya.
4. Kurang kemungkinannya untuk berubah kepercayaan, nilai, dan pengharapannya karena tekanan yang diberikan kepadanya.
5. Lebih mungkin membuat keputusan mengenai kelompok berdasarkan kepercayaan, nilai, dan pengharapan sebelumnya.
6. Lebih berorientasi kepada masalah, terutama mengenai masalah yang menyangkut perolehan material, alih – alih kepuasan yang kurang nyata atau pertanyaan yang penuh emosi.
Adapun kecenderungan – kecenderungan yang membedakan antara seorang pemimpin dan bukan seorang pemimpin di atas tersebut secara jelas lebih menunjukkan perbedaan antara seorang pemimpin dan seorang yang tak acuh daripada antara seorang pemimpin dan seorang pengikut, karena penjelasa pemimpin dan pengikut bukan merupakan tanda yang berlawanan.
Berkaitan dengan sub tema ini kemudian dijelaskan pula mengenai orientasi seorang pemimpin yang menurut hasil penelitian di bagi kedalam dua poin penting, yaitu :
1. Pemimpin yang berorientasikan tugas.
Dalam hal ini pemimpin menetapkan dan bekerja untuk mencapai prestasi atau tujuan kelompok, mengorganisasi agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan misalnya membentuk panitia dan hubungan atasan – bawahan, memikirkan jadwal dan batas waktu, dan sebagainya.
2. Pemimpin yang berorientasikan orang, sosial atau emosi.
Dalam hal ini pemimpin lebih cenderung memberikan perhatian terhadap hal – hal yang berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan pengikut, penciptaan hubungan pribadi yang hangat, pengembangan rasa saling percaya, pengasuhan kerja sama, dan pencapaian solidaritas sosial.
Tipe kepemimpinan tugas maupun kepemimpinan emosional tidak ada yang jauh lebih unggul, karena dua tipe kepemimpinan ini akan sangat dibutuhkan dalam setiap kelompok, bergantung pada situasinya. Dan peran dari dua tipe kepemimpinan ini dapat dimainkan sekaligus oleh satu orang. Seperti yang dilakukan para politikus, profesional, dan aktivis yang lebih sering menggabungkan gaya tugas dan emosi sebagai peran pemimpin politiknya.
Pemimpin organisasi dan pemimpin simbolik dalam politik
Sub tema ini akan menjelaskan mengenai perbedaan di antara pemimpin organisasi yang jabatannya secara struktural diakui dengan pemimpin yang hanya bersifat simbolik saja. Adapun perbedaan tersebut secara lebih detail dapat dijelaskan seperti berikut ini.
1. Pemimpin Organisasi.
Dalam hal ini seorang komunikator merupakan pemimpin karena posisi yang diduduki mereka di dalam struktur sosial atau kelompok terorganisasi yang ditetapkan dengan jelas. Dan diluar mereka sering kali tidak tidak banyak artinya bagi orang lain.
2. Pemimpin Simbolik
Pemimpin dalam hal ini merupakan pemimpin karena arti yang ditemukan orang di dalam dirinya sebagai manusia, kepribadian, tokoh yang ternama, dan sebagainya. Dan bukan karena posisi mereka secara struktural dalam suatu organisasi.
Ikatan komunikasi di antara pemimpin dan pengikut
Seorang ilmuwan bernama Robert Salisbury menganalogikan ikatan atara pemimpin dan pengikut sama seperti dengan pengusaha dan pelanggan. Hal ini berarti bahwa seorang pemimpin kepentingan yang terorganisasi, misalnya, memberi dorongan untuk menciptakan kelompok dengan menyajikan insentif kepada orang – orang yang menjadi anggota kelompok. Di mana insentif ini berfungsi sebagai penukar “biaya” mereka untuk bergabung dan memberikan dukungan.
Adapun Salisbury juga menjelaskan mengenai tiga keuntungan utama yang akan diperoleh pengikut dari transaksi kepemimpinan – kepengikutan ini. Tiga keuntungan utama tersebut adalah sebagai berikut.
1. Memiliki keuntungan material.
Keuntungan ini terdiri atas ganjaran berupa barang atau jasa seperti pekerjaan, tingkat pajak yang dipilih, kontrak pemerintah, perbaikan jalan, perumahan yang memadai, tingkat harga dan upah yang dapat diterima, dan sebagainya.
2. Memiliki keuntungan solidaritas
Keuntungan ini mencakup ganjaran sosial atau hanya bergabung dengan orang lain dalam kegiatan bersama seperti sosialisasi, persahabatan, kesadaran status, identifikasi kelompok, keramahan dan kegembiraan.
3. Memiliki keuntungan ekspresif
Keuntungan ini berkaitan dengan suatu tindakan dari yang bersangkutan dalam hal mengungkapkan kepentingan atau nilai seseorang atau kelompok, yang dilakukan bukan secara instrumental mengejar kepentingan atau nilai.
Citra rakyat tentang komunikator politik dan pemimpin politik
Persepsi pemberi suara terhadap para calon yang mengesankan pada dasarnya didasari oleh dua hal, yaitu
1. Berkaitan dengan peran, yang meliputi pengalaman dan latar belakang (jika ada) dalam jawatan pemerintahan, pengalaman dan kualifikasinya, catatan dan asosiasi dalam politik partisan dan atribut lain yang bertalian dengan pelaksanaan pekerjaan yang berorientasikan tugas.
2. Berkaitan dengan gaya, yang meliputi atribut – atribut pribadi yang dipersepsi (kejujuran, itelenjensi, penampilan fisik dan lain sebagainya) serta keterampilan sebagai aktor drama (bagaimana ia tampak dalam penampilan pribadi, penyajian televisi, debat dan sebagainya).
Pada umumnya kebanyakan pemberi suara lebih menekankan gaya daripada mutu peran dalam hal pemilihan calon, di mana sebagian dari mereka mencari ikatan emosional di antara mereka sendiri dan yang berusaha untuk mendapatkan dukungan mereka.
Karakteristik sosial pemimpin politik
Secara umum semua hasil studi menunjukkan dan menemukan bahwa karakteristik sosial dari seorang pemimpin politik secara nyata berbeda dari populasi umum kebanyakan. Di samping itu hasil studi juga menemukan bahwa mereka, para pemimpin politik berbeda dalam segi – segi lain seperti berbeda dalam tingkat keterlibatan politik, kepercayaan politik, nilai dan pengharapan serta pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan.
Pemilihan pemimpin politik
Pemilihan pemimpin politik dalam hal ini berlangsung dalam banyak kotak atau tahapan. Di mana tahapan ini dibagi kedalam enam tahap utama yang terdiri dari :
1. Pemilihan terhadap yang memenuhi syarat di antara populasi umum, yaitu terhadap semua orang yang disahkan secara hukum untuk mengambil bagian dalam politik dan untuk memegang jabatan.
2. Pemilihan terhadap orang – orang yang mampu (available) atau orang – orang yang memiliki sumber daya yang diperlukan, terutama berkaitan dengan sumber daya sosial dan ekonomi untuk melibatkan diri dalam politik.
3. Pemilihan partisipan politik, yaitu pemilihan terhadap orang – orang yang memiliki minat dan motivasi terhdap politik melalui sosialisasi masa kanak – kanak, sehingga menjadi menaruh perhatian pada politik setelah dewasa karena suatu peristiwa atau masalah.
4. Memilih kira – kira tiga perempat dari jumlah yang mampu, kelompok yang lebih kecil lagi yang menjadi partisipan (sekitar 10 persen dari orang – orang yang mampu). Di mana kelompok ini disebut dengan para konsisten, yaitu orang – orang yang memiliki perhatian yang berkesinambungan terhdap politik, yang sesuai dengan uraian mengenai komunikator politik utama.
5. Penetapan calon atau kandidat bagi jabatan pemerintahan.
6. Mengikuti kampanye pemilihan, yang merupakan tahapan akhir dalam proses pemilihan pemimpin organisasi.
Secara singkatnya dapat kita ketahui bahwa komunikator politik yang menjadi pemimpin dalam organisasi pemerintah tidak dipilih secara acak, melainkan dipilih secara selektif melalui berbagai tahapan yang kemudian menjadikan mereka masuk dalam pengkelompokan yang lebih kecil lagi yang memenuhi ketetapan dari syarat, kemampuan, partisipasi, konsistensi, kandidat dan yang terpilih.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
PERAN KOMUNIKATOR POLITIK KONTEMPORER
Dalam komunikasi politik, komunikator politik merupakan salah satu faktor yang menentukan efektivitas komunikasi. Pada peristiwa komunikasi yang manapun, faktor komunikator merupakan suatu unsur yang penting sekali peranannya. Sekalipun nantinya keberhasilan komunikasi yang dimaksud secara menyeluruh bukan hanya ditentukan oleh sumber, namun mengingat fungsinya sebagai pemrakarsa dalam aktifitas yang bersangkutan, maka bagaimanapun juga dapat dilihat betapa menentukannya peran tersebut. Karena itu dalam mengamati proses komunikasi politik, perlu sekali terlebih dahulu memahami karakteristik masing-masing komunikator tersebut, setidak-tidaknya secara umum, guna mendapatkan gambaran tentang bagaimana kelak kemungkinan-kemungkinan yang timbul baik dalam berlangsungnya proses komunikasi itu sendiri, maupun dalam keseluruhan hasil komunikasi yang dilakukan.
Dalam perspektif panggung politik kontemporer, komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, khususnya dalam proses pembentukan opini publik. Komunikator politik sebagai pelaku atau diidentifikasi sebagai pemimpin yang memiliki potensi dan kompetensi di atas rata-rata dibandingkan warga negara pada umumnya dalam hal menyampaikan pikiran atau gagasan di mana pun dia berada.
Peran komunikator politik kontemporer dalam menciptakan opini publik, Karl Popper (1962), memperkenalkan teori pelopor opini publik, menegaskan, para pemimpin menciptakan opini publik karena mereka berhasil membuat beberapa gagasan, yang awalnya ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima. Tanggapan dari publik (termasuk elite politik) dipahami dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru, gagasan-gagasan baru, dan argumen-argumen baru. Upaya untuk menyatakan dirinya sebagai komunikator politik, meliputi; politisi, komunikator profesional, dan aktivis (Dan Nimmo, 1978), maka yang dituntut adalah:
Pertama, kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi mempunyai makna bahwa seorang yang mampu dan cerdas dalam menyampaikan argumen, gagasan, dan pemikiran kepada public, di mana pun dia berada. Artinya, di mana pun dia berada setiap statement mampu mempengaruhi atau bergetar dalam setiap apa yang diucapkan. Misalnya, sebagai politisi, diharapkan dalam melontarkan gagasan mampu mempengaruhi kebijakan politik. Kalau politisi yang sehari-hari bekerja di lembaga legislatif mampu memainkan perannya sebagai aktivis politik, baik itu menjalankan fungsi kontrol, legislasi, dan anggaran. Ukurannya, seberapa besar media massa memberikan porsi pemberitaan dalam apresiasinya dalam menjalankan tugasnya sebagai komunikator politik. Kalau mereka sebagai politisi tidak pernah kita ketahui kiprahnya, dan hanya anggota dewan semata dan sosoknya hanya 4 D (datang, duduk, dengar, diam) itu berarti mereka tidak dapat dikatakan sebagai komunikator politik yang baik.
Contoh lain. Maraknya figur calon legislatif (caleg) yang melakukan tebar pesona melalui baliho dan media iklan, namun publik tak mengetahui jati diri serta tak memiliki potensi dan kompetensi, beraninya memproklamirkan diri sebagai calon anggota wakil rakyat. Bahkan ada caleg di Sulawesi Selatan, jangankan mengungkapkan gagasan dan pikiran ke publik tak pernah dia lakukan apalagi mau berpidato atau berdebat di depan publik?
Kedua, komunikator politik sebaiknya memiliki kesempatan dan memiliki kapasitas sebagai pemimpin. Orang yang mengidentifikasi dirinya berkemampuan sebagai komunikator politik adalah orang yang memiliki leadership. Bagi orang yang menceburkan diri dalam panggung politik dan kekuasaan, hal yang tak bisa ditawarkan adalah memiliki kemampuan dalam memimpin. Pemimpin itu tak lahir seketika atau instant. Pemimpin sejak lahir sudah terlihat bakatnya sebagai pemimpin di mana pun dia berada.
Ketidakpastian dalam peran komunikator politik kontemporer membuat beberapa orang sarjana dalam tahun-tahun terakhir ini bertambah khawatir mengenai para komunikator politik akan meninggalkan klien, pemilih, dan khalayak mereka disebabkan oleh kesetiaan kepada nilai-nilai impersonal dan professional. Secara konsisten riset telah mengidentifiasi profesional dan atau amatir. Masalah yang ditemukan oleh para kritikus ialah bahwa komunikasi politik telah menjadi begitu professional sehingga para pemrakteknya melihat segala sesuatu hanya dari titik sempit keahlian khusus teknik mereka sendiri, dan telah mempunyai sudut pandang yang tampak terhadap segala sesuatu yang berada diluar perspektif mereka sendiri.
Bidang masalah kedua timbul dari karakteristik para komunikator sendiri. Selain bagaimana profesionalnya dan bagaimana mewakili komunikator politik itu, ada ketidakpastian tentang peran mereka, yaitu motif-motif mereka. Tentu motif-motif itu tercampur. Dalam beberapa hal, mereka bertujuan, misalnya bermaksud mengubah kepercayaan, nilai, dan pengharapan rakyat dengan memberi informasi, membujuk, dan menghibur, dalam hal lain motif mereka tidak bertujuan, misalnya meneruskan pesan-pesan kepada rakyat tanpa maksud mempengaruhi.
Saran-saran
Makalah ini tentu masih jauh dari nilai kesempurnaan, karena dibuat hanya sebatas khazanah pengetahuan kami itu pun dengan referensi yang masih sangat minim. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Daftar pustaka:
• Dan Nimmo, 1989. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media (Edisi Terjemahan oleh Tjun Surjaman). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
• Cangara, Hafied, 2009, Komunikasi Politik : Konsep, Teori dan Strategi,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
• http://kuliahkomunikasi.blogspot.com/2008/11/komunikator-politik-opini-publik.html
• http://fikom-jurnalistik.blogspot.com/2011/04/komunikator-politik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar