Jumat, 18 Mei 2012

LAHIRNYA HAK BERSERIKAT BURUH SEBAGAI PERKEMBANGAN BURUH DI INDONESIA

Hak berserikat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Secara umum pengaturannya  di dalam Pasal 20 Piagam PBB, Pasal 22 Kovenan Hak Sipil dan politik (yang diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005) dan Pasal 8 Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya (yang diratifikasi dalam UU No. 11 Tahun 2005). Sedangkan dalam UUD 1945 diatur pada Pasal 28 E ayat (3).
Pasal 20 Piagam PBB, yaitu  everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association. No one may be compelled to belong to an association.  Pasal 22 Kovenan Hak Sipil dan politik, yaitu
1.    Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh untuk melindungi kepentingannya.
2.    Tidak satu pun pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak ini, kecuali jika hal tersebut dilakukan berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah pelaksanaan pembatasan yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan polisi dalam melaksanakan hak ini.
3.    Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang memberi wewenang pada Negara-negara Pihak pada Konvensi Organisasi Buruh Internasional 1948 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislatif yang dapat mengurangi, atau memberlakukan hukum sedemikian rupa sehingga mengurangi, jaminan yang diberikan dalam Kovensi tersebut.
Pasal 8 Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya, yaitu :
1. Negara-negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin:
a. Hak setiap orang untuk membentuk serikat pekerja dan bergabung dengan serikat kerja pilihannya sendiri, yang hanya tunduk pada peraturan organisasi yang bersangkutan, demi kemajuan dan perlindungan kepentingan ekonomi dan sosialnya. Tidak boleh ada pembatasan pelaksanaan hak ini, kecuali pembatasan-pembatasan yang ditetapkan undang-undang dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan orang lain.
b. Hak setiap pekerja untuk membentuk federasi-federasi atau konfederasi-konfederasi nasional, dan hak konfederasi nasional untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi serikat pekerja internasional.
c.  Hak serikat pekerja untuk bertindak secara bebas, tidak dapat dikenai pembatasan apapun selain pembatasan-pembatasan yang ditetapkan hukum dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum atau untuk perlindungan hak dan kebebasan orang lain.
d. Hak untuk melakukan pemogokan asalkan pelaksanaannya sesuai dengan hukum Negara yang bersangkutan.
2. Pasal ini tidak menghalangi dikenakannya pembatasan yang sah atas pelaksanaan hak tersebut oleh anggota angkatan bersenjata, kepolisian atau pemerintahan Negara.
3.  Tidak satupun ketentuan dari pasal ini memberikan kewenangan kepada Negara-Negara Pihak Konvensi Internasional Organisasi Buruh Internasional 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi untuk mengambil langkah legislatif apapun yang akan mengurangi atau menerapkan hukum sedemikian rupa sehingga akan mengurangi jaminan-jaminan yang telah diberikan Konvensi itu. Hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja berhubungan erat dengan hak atas kebebasan berserikat, yang diakui secara luas pada semua hukum internasional tentang hak asasi manusia. Bersama dengan hak untuk melakukan pemogokan, hak ini bersifat dasar apabila hak para pekerja dan warga negara lain berdasarkan Kovenan ini akan diterapkan.
Tiga ketentuan internasional itu menjadi dasar amandemen Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, yaitu setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Secara khusus ILO mengatur tentang hak berserikat bagi buruh dalam Konvensi Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi tahun 1948 No. 87 dengan Konvensi Hak Berorganisasi dan Berunding Kolektif  tahun 1949 No. 98. Konvensi ILO No. 98 merupakan kelanjutan dari Konvensi ILO No. 87 dan keduanya mengatur tentang :
1.    jaminan kebebasan berserikat tanpa perbedaan apapun
2.    kebebasan berserikat tanpa izin terlebih dahulu
3.    kebebasan memilih
4.    kebebasan organisasi untuk berfungsi : menjamin kerangka kegiatan ; administrasi, aktivitas dan program
5.    hak untuk mengorganisasi
6.    perundingan dan kesepakatan kolektif
7.    hak-hak dan kemerdekaan sipil srikat pekerja
Indonesia sudah meratifikasi kedua konvensi itu, tetapi penuangannya berbeda dalam peraturan perundang-undangan. Konvensi ILO No. 98  diratifikasi dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 tentang ratifikasi Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama (TLN No. 42 tahun 1956). Konvensi ILO No. 87 diratifikasi hanya dengan Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi ILO No. 87 mengenai kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi, (LN No. 98 Tahun 1998).
Kedua konvensi itu dimaksudkan sebagai dasar terbentuknya Undang- Undang No. 21 Tahun 2000, ttetapi karena penuangan ratifikasi Konvensi 87 hanya dengan Kepres menjadikan tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam  Undang No. 21 Tahun 2000.
Ada tidaknya  jaminan hak berserikat buruh di Indonesia, dapat dilihat dari sejarah perkembangan yang terjadi. Berdasarkan kurun waktu gerakan Serikat Buruh, maka perkembangan hak berserikat di Indonesia dapat dibagi dalam 9 masa, yaitu :
1.    Masa penjajahan Hindia Belanda (Sebelum tahun 1879)
2.    Masa munculnya gerakan Serikat Buruh di Indonesia  (1879- 1945)
3.    Masa Revolusi (17 Agustus  1945 – 1959)
4.    Masa demokrasi terpimpin (5  Juli 1959 – 1965)
5.    Masa Orde Baru (30 September 1965 – 1998)
6.    Masa Reformasi sampai dengan sekarang.

1.    Masa penjajahan Hindia Belanda (Sebelum tahun 1879)
Lahirnya gerakan buruh yang merupakan bagian dari hak berserikat di Indonesia dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah buruh yang diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan. Munculnya gerakan serikat buruh pada masa pemerintahan Hindi Belanda, dilatar-belakangi keadaan dimana tanah-tanah kosong dapat diusahakan tersedia dengan luas dan tidak terbatas serta mudah diperoleh, sedangkan tenaga kerja yang tersedia sangat terbatas.    Untuk mengatasai keterbatasan jumlah tenaga kerja maka buruh-buruh didatangkan dengan mengeluarkan biaya besar dari Cina dan Keling melalui Semenanjung Malaka. Untuk itu perlu adanya kepastian bahwa mereka tidak akan memutus hubungan kerjanya setelah tiba di Sumatra Timur.   Peraturan yang dikeluarkan pada masa ini adalah :
1.    Politiestraf Reglement Stbl. 1829 No. 8. yang isinya larangan pemutusan hubungan kerja secara sepihak dari pembantu rumah tangga. Peraturan itu ditujukan hanya untuk pembantu rumah tangga, kenyataannya dipergunakan untuk semua perjanjian kerja. 
2.    Politiestraf Reglement voor European in Indie Stbl. 1872 No. 111. dan Politiestraf Reglement voor European in Inlandens in Indie Stbl. 1872 No. 112 .Ketentuan Stbl. 1872 No. 111 dianggap sebagai peraturan mati karena buruh dari golongan Eropa dianggap tidak termasuk buruh biasa (gewone arbeiders). Stbl. 1872 No. 112 mengatur tentang poenale sanctie  bagi buruh yang menolak melakukan pekerjaan atau memutuskan hubungan kerja berlawanan dengan majikan berupa pidana denda sejumlah f.16 sampai dengan f. 25 atau bekerja tanpa upah pada pekerjaan-pekerjaan umum selama 7 sampai 12 hari bagi buruh yang memutus hubungan kerja secara sepihak.
3.    Stbl. 1879  No. 203 Pasal 328 A KUHPidana yaitu dihukum dengan hukuman dari sebulan sampai enam bulan atas barang siapa yang dengan maksud merugikan majikan, bila sudah menerima panjar untuk bekerja, tidak melakukan pekrjaan yang telah ditentukan padanya.
4.    Koeli Ordonantie Stbl. 1880 No. 133. terdapat asas   poenale sanctie. Majikan yang memutus hubungan kerja sepihak dikenai denda sebesar f.100, sedangkan bagi buruh f.25  (di Sumatera Barat sebesar f.50) . Sepintas  besarnya denda itu sudah memperhatikan perbedaan kemampuan ekonomi/penghasilan majikan dengan buruh, padahal bagi majikan F. 100 hanya merupakan upah untuk satu atau dua hari sedangkan f. 25 bagi buruh adalah upah 2 atau 3 bulan dan di Sumatera Barat adalah 4 atau 5 bulan. Ancaman hukuman bagi majikan hanya berupa denda, sedangkan bagi buruh berupa denda atau tutupan. Selain itu terdapat bantuan polisi untuk memaksa buruh yang telah selesai menjalankan hukuman supaya kembali ke perkebunan untuk dipekerjakan lagi.
5.    Amandemen Blaine mengenai perubahan tarif bea masuk. Dilarang mengimpor produk-produk yang dihasilkan oleh narapidana atau oleh buruh yang bekerja di bawah paksaan atau dengan poenale sanctie. Ketentuan itu akan diberlakukan mulai 1 Januari 1932 dan mengancam keberadaan kebun-kebun tembakau di sumatera Timur (Deli).

2.    Masa munculnya gerakan Serikat Buruh di Indonesia  (1879- 1945).
Gerakan serikat buruh dimulai sejak abad 19. Pada tahun 1879 lahir Nederland Indische Onderwys Genootschap (NIOG) atau serikat pekerja guru Hindia Belanda.   Munculnya gerakan serikat buruh di Hindia Belanda dipengaruhi oleh pertumbuhan pergerakan buruh sekitar tahun 1860 – 1870 di Nederland.  Pada tahun 1878 atas pengaruh sosial demokrat, maka perkembangan selanjutnya telah menimbulkan berdirinya NAS (National Arbeids Secretariaat) sebagai induk organisasi. 
Pendirian NIOG, ini selanjutnya disusul lahirnya beberapa Serikat Buruh, seperti :
1.    Serikat Buruh Pos (Pos Bond) 1905
2.    Serikat Buruh Perkebunan (Cultuur Bond) dan Serikat Buruh Gula (Zuiker Bond) 1906.
3.    Serikat Pegawai Pemerintah, 1907
Pendirian serikat buruh pada awalnya hanya beranggotakan orang –orang dari bangsa Belanda yang berpangkat tinggi dan menengah.  Hal ini mengingat semua orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda diberi jabatan pemimpin.   Sementara pegawai yang berasal dari orang pribumi tidak dapat menjadi anggota karena terkait dengan jabatannya. Keadaan ini mendorong pegawai yang berasal dari pribumi untuk ikut serta membentuk suatu organisasi.
Pada masa itu, para buruh pribumi di berbagai perusahaan dan kantor swasta dan pemerintah mulai mempunyai gagasan untuk mendirikan Serikat Buruh pribumi sendiri, tanpa warga negara asing. Gagasan tersebut timbul karena berbagai jenis industri barang dan jasa mulai tumbuh dan berkembang. Para buruh pribumi mulai mengerti dan sadar akan hak-hak dan kepentingan buruh, seperti syarat dan kondisi kerja, kesehatan dan keselamatan kerja, upah dan jaminan sosial, dan kesejahteraan tenaga kerja. Pada saat itu, mereka mulai berpikir untuk mendirikan Serikat Buruh sebagai wadah perjuangan untuk memperbaiki nasib kaum pekerja pribumi.
Adanya kenyataan yang ada diantara tahun 1897 sampai dengan tahun 1907 kaum buruh bangsa kita belum mempunyai perserikatan sendiri, sebenarnya terletak pada keadaan belum adanya pemimpin pada masa itu yang dapat menyalurkan keinginan-keinginannya dalam satu bentuk yang dapat dijadikan alat perjuangan.
Pada tanggal 20 Mei 1908, lahir gerakan kebangsaan “Boedi Oetomo” yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Pada tahun 1912 berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bergerak di bidang ekonomi dan perdagangan. Lahirnya dua gerakan kebangsaan tersebut berpengaruh besar terhadap tumbuh berkembangnya gerakan Serikat Buruh. Mulai saat itu lahirlah Serikat Buruh - Serikat Buruh baru, yaitu :
1.    Vereniging van spoor en trem personeel (VSTP) atau Serikat Buruh Kereta api dan term 1908.
2.    Perkumpulan Bumi Putera Pabean (PBPP), 1911.
3.    Persatuan Guru Bantu (PGB) 1912
4.    Serikat Buruh Kereta Api (Spoor Bond) 1913.
5.    Persatuan pegawai Pegadaian Bumi Putera (PPPB) 1914
6.    Serikat Buruh Perusahaan Partikelir (SPPP) 1915
7.    Opium Regie Bond (ORB) 1916.
8.    Serikat Buruh Pabrik Gula, 1917
9.    Personeel Fabrik Bond (PFB). 1917
Dari kalangan TiongHoa pada 19 September 1909 di Jakarta dibentuk Tiong Hoa Sim Gie yang dipimpin oleh Lie Yann Hoei  kemudian diganti namanya menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee. Yang dikemudian hari menjadi inti dari Federasi Kaum Buruh Tionghoa.  Sampai tahun 1917, jumlah Serikat Buruh sudah cukup banyak, sehingga pada waktu itu para pemimpin Serikat Buruh mempunyai keinginan ke arah terciptanya persatuan dan kesatuan kaum buruh dalam satu wadah yang  kuat. Dari keinginan para pemimpin Serikat Buruh tersebut, pada 1919 lahir Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dengan ketua Semaoen, Wakil ketua Soerjopranoto, Penulis H Agoes Salim dan bendahara Alimin.
Keberadaan serikat buruh saat itu mendorong untuk mewujudkan hak berserikat dalam bentuk mogok. Aksi mogok itu dipengaruhi adanya keadaan peraturan perburuhan yang sangat memberatkan buruh disamping adanya tindakan sewenang-wenang dari majikan. Poenale sanctie masih diterapkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan tentang mempekerjakan buruh yang terdapat dalam Ordonantie tanggal 3 Oktober 1911 Stbl 1911 No. 540, yaitu :
Dipidana dengan kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya f. 100. seorang buruh yang bersalah membangkang terhadap atau menghina ataupun mengancam majikan atau pegawainya mengaduhkan, berkelahi dan mabok sepanjang kesalahan itu tidak dipidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Besarnya denda  bagi buruh yang melakukan pelanggaran, menaglami peningkatan jika dibandingkan dengan Koeli Ordonantie Stbl. 1880 No. 133 yang hanya menerapkan denda sebesar f.25.  Tampak sekali pemerintah Hindia Belanda sangat mengutamakan kepentingan majikan dalam menjamin kelangsungan hubungan kerja. Keadaan inilah yang mendorong terjadi aksi- aksi mogok kerja yang menuntut perbaikan nasib buruh pada tahun 1920 – 1925, yaitu :
1.    Tahun 1920, para buruh anggota PFB mogok kerja, menuntut majikan supaya mau mengakui keberadaan Serikat Buruh mereka.
2.    Tahun 1922, para buruh pelabuhan Surabaya melancarkan aksi mogok kerja menuntut perbaikan nasib.
3.    Tahun 1923, pegawai kereta api mogok kerja. Tuntutan Serikat Buruh waktu itu kurang berhasil. 
Keadaan banyaknya aksi mogok yang dilakukan oleh buruh ditambah dengan masa malaise akibat perang Dunia I yang berakhir tahun 1918 membuat pemerintah Hindia Belanda mengkonsepkan mogok sebagai perbuatan kriminal. Pemerintah kolonial Hindia Belanda melarang aksi mogok kerja dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang larangan mogok kerja yang dimasukkan pada Pasal 161 bis KUH Pidana yaitu : Barangsiapa yang menyebabkan timbulnya gangguan terhadap ketertiban umum dan penghancuran kehidupan ekonomi masyarakat, diancam dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 5 tahun atau denda setinggi-tingginya 1000 gulden. Pasal 161 bis ini dimasukkan ke dalam KUH Pidana pada tahun 1926 pada dasarnya dimaksudkan untuk menanggulangi pemogokan yang dilakukan oleh buruh perkebunan tebu, buruh pabrik gula dan buruh kereta api.
Sejak awal, para buruh yang ingin mendirikan Serikat Buruh di tempat kerja selalu dihalangi majikan. Caranya adalah dengan memperpanjang jam kerja, supaya para buruh tudak mempunyai waktu dan kesempatan untuk berserikat. Upah dan jaminan sosial, syarat dan kondisi kerja, kesehatan dan keselamatan kerja tidak diperhatikan. Hubungan kerja majikan buruh berjalan konfrontatif, majikan menolak perundingan kolektif.
Penekanan dan pembatasan majikan terhadap Serikat Buruh justru malah mendorong gerakan Serikat Buruh. Serikat Buruh menggalang persatuan dan kesatuan. Gerakannya meningkatkan fungsi dan pereanan serta menjalin hubungan dengan organisasi Serikat Buruh Internasional. Pada tahun 1923, VSTP menjadi anggota International Federation of trade Union (IFTU) yang berkantor pusat di Moskow Rusia. Serikat Buruh Pelabuhan yang didirikan di Semarang dan Surabaya bergabung dengan Serikat Buruh Kelautan India yang sekretariatnya di Amsterdam, Nederland.
Banyaknya gerakan dan aksi mogok yang dilakukan oleh Serikat Buruh, mendorong pemerintah india Belanda untuk melakukan tindakan yang lebih keras. Pada tahun 1930, suatu Serikat Buruh yaitu Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) dibubarkan oleh pemerintah kolonial, karena dicurigai ikut aktif dalam kegiatan perjuangan kebangsaan. 
Untuk meneruskan perjuangan SKBI, pada 1932 didirikan dua Serikat Buruh oleh dr Soetomo, yaitu Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) dan persatuan Serikat Pekerja Indonesia (PSPI). Meskipun mendapat tekanan dan pembatasan ketat dari Pemerintah Kolonial, dua Serikat Buruh tersebut sempat melakukan aksi mogok kerja di Surabaya, menuntut perbaikan nasib dan kebebasan berserikat. Risikonya, para pemimpin dan aktivis Serikat Buruh ditangkap dan ditahan, sehingga hubungan anggota pemimpin terputus.  Fungsi dan aktivitas Serikat Buruh menjadi terhenti.
Pada tahun 1938 terdapat Aanvullene Plantersregeling / AmvB (peraturan perburuhan di perusahaan perkebunan)  tanggal 17 Januari 1938 Stbl No. 98.  dan Arbeidsverordening Nijverheidsbedrijven (Peraturan Pelaksanaan peraturan Perburuhan di perusahaan perindustrian dalam Regeringsverordering  tanggal 21 Juli 1948  stbl No. 162. Kedua peraturan itu pada dasarnya mengatur tentang hak dan kewajiban antara majikan dan buruh, belum ada ketentuan yang berkaitan dengan hak berserikat. Pada tahun 1940, Pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Regeling Arbeidsverhouding (ORA) yang mengatur tentang perlindungan kaum pekerja di perusahaan swasta.
Peraturan ini memberi peluang bagi aktivis dan kader Serikat Buruh untuk memulai kembali menggalang persatuan dan kesatuan kaum pekerja (pribumi) ke dalam satu wadah Serikat Buruh  yang kuat. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh PVPN untuk membentuk panitia Penasehat Pembantu Pegawai Partikelir (P5) dengan tugas : memberi nasehat, petunjuk, dan bimbingan kepada kaum pekerja pribumi dalam hal mendirikan Serikat Buruh di perusahaan tempat kerja. P5 juga berfungsi sebagai perantara bagi Serikat Buruh untuk memperoleh pengakuan dari majikan atas keberadaan Serikat Buruh di setiap perusahaan swasta. P5 ternyata dapat mendorong berdirinya Serikat Buruh di perusahaan-perusahaan swasta. Serikat Buruh- Serikat Buruh yang baru  lahir segera bergabung ke dalam Serikat Buruh yang sudah ada. Di Solo, berdiri Gabungan Serikat Pekerja Partikelir Indonesia (GSPPI). Pada pertengahan 1941, GSPPI mengadakan konperensi di Semarang dihadiri 7 Serikat Buruh tingkat nasional, 22 Serikat Buruh tingkat nasional, 22 Serikat Buruh  lokal dan 2 Gabungan SP Regional.
Pada 8 Desember 1941, pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan perang melawan Jepang. Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah pada Jepang tanpa syarat, dan wilayah bekas Hindia Belanda diduduki Pemerintah Balatentara Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, semua gerakan Serikat Buruh  tidak tampak kegiatannya. Para pekerja dijadikan romusha, kerja paksa, kurang makan, tanpa upah, dipekerjakan membuat landasan kapal terbang, jalan raya, rel kereta api dan bernagai sarana perang. Kesehatan dan keselamatan kerja tidak dperhatikan, penyiksaan dan penganiayaan sering terjadi, serta banyak pekerja yang dikirim ke Malaka, Birma dan Thailand dijadikan romusha, banyak yang tidak dapat kembali ke tanah air, atau meninggal dunia.
Sebagai contoh Gabungan Serikat- setikat Pekerja Partikelir Indonesia (GASPI) menyerukan kepada semua anggotanya supaya bekerja terus dengan tenang dan tertib guna menjaga organisasinya masing-masing, apabila keadaan sudah lampau dapat meneruskan kembali pekerjaannya.    Selama 1942-1945, semua gerakan kebangsaan, gerkan Serikat Buruh  , dan gerakan organisasi  kemasyarakatan apapun bentuk dan ideologinya dibubarkan Pemerintah Balatentara Jepang. Seluruh sumber daya alam serta harta kekayaan rakyat dirampas, dan dikuras habis. 
Kondisi yang memilukan ini tidak memadamkan semangat dan jiwa perjuangan gerakan kebangsaan, gerakan Serikat Buruh  serta gerakan politik dan kemasyarakatan yang bersama-sama seluruh rakyat melawan Balatentara Jepang. Akhirnya perjuangan berhasil dan Indonesia memperoleh kemerdekaannya.

3.    Masa Revolusi (17 Agustus  1945 – 1959)
Pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Tanggal 18 Agustus 1945 diberlakukan undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 UUD 1945, yaitu Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang- Undang. Pada 19 september 1945, terbentuklah barisan buruh Indonesia (BBI) dengan tujuan untuk ikut serta dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Karena tujuannya bersifat umum, maka semua SP dianggap menjadi anggota BBI. Pada kongres di Solo, 17 Nopember 1945, BBI mengalami perpecahan dalam dua kubu.
a.    Kubu SP yang menghendaki agar BBI menjadi gerakan politik dengan mendirikan Partai Buruh Indonesia (BBI).
b.    Kubu SP yang menghendaki agar BBI tetap bergerak di bidang sosial-ekonomi.
Kubu kedua ini kemudian mengadakan kongres sendiri di Madiun, 21 Mei 1946, dimana mereka mendirikan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GABSI) dengan tujuan meningkatkan taraf hidup anggotanya. Dalam perjalannyan GABSI bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GASBEV) pada 29 Nopember 1946, dan berganti nama menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Dalam kongresnya di Malang Mei 1947, SOBSI memastikan diri berkiblat ke komunis Internasional. Kemudian SOBSI ikut terlibat dalam pemberontakan PKI-Muso di Madiun, September 1948. Di kemudian hari SOBSI ternyata, juga terlibat dalam G-30 S/PKI 1965.
Pada 1949, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan  RI. Semula negara berbentuk  federal (RIS), kemudia pada 1950 berubah menjadi negara kesatuan. Sambil menunggu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang menganut pemerintahan demokrasi perlementer. Indonesia menjadi anggota ILO pada Konpernsi Perburuhan Internasional yang ke-33 di Geneve tahun 1951.   Pada bulan Juli 1951, telah diadakan kongres atau konpernsi Serikat Buruh antara lain :
1.    Serikat Buruh Perindustrian/Kerajinan Salatiga
2.    Serikat Buruh Pegadaian di Jogjakarta
3.    Serikat Buruh Bea dan Tjukai di Surabaya
4.    Serikat Buruh Percetakan Indonesia di Kediri dan Magelang
5.    Serikat Buruh Pajak bumi di Magelang
6.    Persatuan guru bantu di Bandung
7.    Serikat Buruh Gas dan listrik di Jogjakarta
8.    Gabungan Serikat Buruh Indonesia di Jakarta
9.    Konperensi ikatan bidan indonesia.
Adapun hasilnya memutuskan antara lain :
1.    Desakan kepada pemerintah untuk mencabut larangan mogok,
2.    perbaikan peraturan gaji pegawai.
3.    Penggantian tenaga asing dengan tenaga-tenaga bangsa indonesia.(Perindustrian dan kerajinan).
4.    supaya dalam panitia penyelesaian pertikaian perburuhan duduk wakil buruh .(Perindustrian dan kerajinan).
5.    supaya selekas mungkin dikeluarkan Undang-Undang pengakuan serikat buruh (SB Bea dan Tjukai).
6.    Supaya diusahakan adanya Kongres Buruh Umum (SBGLI dan SB Pegadaian).
Pada tahun 1951 untuk mengatasi masalah perburuhan, keluarlah  UU Darurat No. 16 Thun 1951 yang membentuk lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No. 1 Tahun 1951 tanggal 13 Februari 1951
Dalam masa 1950 an, lahir sekitar 150 SP nasional, ratusan SP lokal dan 7 federasi SP.  Dasar dan asasnya beraneka ragam, tetapi program dan kegiatannya dititik beratkan di bidang politik sehingga melupakan tugas utamanya membela dan memajukan kepentingan umum pekerja. Dalam masa liberalisme tersebut, jumlah partai politik tumbuh berkembang dengan pesat.
Banyak partai politik juga mendirikan Serikat Buruh sebagai onderbouw masing-masing partai dengan maksud untuk mengumpulkan jumlah anggota sebanyak-banyaknya guna memperoleh suara dalam Pemilihan  umum pertama tahun 1955. Hal itu dimungkinkan dengan keluarnya Peraturan Menteri Perburuhan No. 90 tahun 1955 tentang Pendaftaran Serikat Buruh yang sifatnya liberalistis. Menurut peraturan tersebut, pendirian Serikat Buruh syaratnya sangat ringan, cukup memiliki Anggaran Dasar, sususnan pengurus dan daftara nama anggota tanpa ketentuan minimumnya, seperti jumlah anggota, luas wilayah, perangkat organisasi.
Banyak Serikat Buruh menjadi organ partai politik yang ikut kampanye untuk Pemilihan Umum 1955. Adapun  Serikat Buruh yang lahir menjelang Pemilu 1955 termasuk : 
1.    Serikat Buruh Islam indonesia (SBII), Solo 1947, organ partai Masyumi.
2.    Gabungan Serikat Buruh revolosioner Indonesia (GASBRI), 1948.
3.    Himpunan Serikat-Serikat Buruh Indonesia (HSSBI) 1949.
4.    Sentral Organisasi Buruh seluruh Indonesia (SOBSI) muncul kembali 27 Desember 1949, setelah pada tahun 1948 non aktif karena  terlibat pemeberontakan PKI-Muso di Madiun.
5.    Badan permusyawaratan buruh seluruh Indonesia (BPBSI), 1950.
6.    Sentral organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI), Bandung 1951, organ partai Murba
7.    Kesatuan Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), Bandung, 1952, organ Partai sosialis Indonesia.
8.    Kesatuan buruh kerakyatan Indonesia (KBKI) Surabaya, 1952, organ Partai Nasional Indonesia.
9.    Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), 1955, organ Nahdatul Ulama.
10.    Gabungan Serikat Buruh Sarekat Islam Indonesia (GOBSI Indonesia) 1955, organ Partai Sarekat Islam Indonesia.
11.    Kesatuan Pekerja Kristen Republik Indonesia (KESPEKRI), 1955, organ Partai Kristen Indonesia.
Keadaan tahun 1950an banyak terdapat gerakan Serikat Buruh dalam aksi mogok. Menurut menteri perburuhan saat itu,
adanya organisasi-organisasi buruh yang tidak teratur rapi dengan tiada disiplin dan kesadaran. Kementrian Perburuhan akan menghadapi alat-alat buruh yang rapoh, yang sukar dibawa ke arah pekerjaan yang konstruktif. Bahkan pengalaman menyatakan bahwa alat-alat kaum buruh yang semacam itu hanyalah menjadi perintang belaka. Perintang bagi organisasi-organsisasi yang sudah geconsolideerd dan perintang pula bagi usaha-usaha dari Kementrian perburuhan.
Pernyataan itu tidak seluruhnya benar. Pada umumnya tuntutan buruh dalam tahun 1951 adalah mengenai :
1.    kenaikan upah dan tundjangan-tundjangan
2.    perbaikan syarat-syarat kerja
3.    perbaikan jaminan sosial
4.    gratifikasi dan hadiah
5.    pembatalan pemecatan (ontslag) atau pemindahan
6.    pelaksanaan peraturan- peraturan pemerintah
7.    pengakuan serikat buruh
8.    pembayaran upah selama mogok
9.    penghapusan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif
10.    pelaksanaan perjanjian-perjanjian perburuhan.
Apabila dilihat dari isinya, tuntutan buruh saat ini banyak yang layak menurut rasa keadilan dan kewajaran,
tetapi karena belum ada landasan hukum untuk mengabulkannya dan banyak dari tuntutan tersebut dianggap ditunggangi kepentingan politik seolah ditujukan untuk merongrong kedudukan partai Masyumi dan PSI. Pemerintah yang didukung partai Masyumi dan PSI cenderung bersikap defensif. Masyumi dan PSI dituduh sebagai partai pembela kapitalis, komprados dan musuh buruh, sedangkan PNI yang tidak diikut sertakan Natsir dalam Kabinet yang dipimpinnya dianggap sebagai partai pentolan buruh dalam barisan yang sama dengan PKI, sehingga partai waktu itu dibagi dalam 2 kubu, yaitu Partai Politik yang dianggap berpihak pada buruh dan partai yang anti buruh.
Selanjutnya perkembangan berdirinya Serikat Buruh setelah diadakannya
Pemilu 1955, masih banyak diantaranya adalah :
1.    Kongres Buruh Islam merdeka (KBIM) 1956.
2.    Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), 1957, organ Partai Katolik.
3.    Persatuan Organisasi Buruh Pancasila (Kubu Pancasila), 1961, organ Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
4.    Gabungan Buruh Muslimin Indonesia (GERBUMI), 1961, organ Partai PERTI.
5.    Ikatan karyawan Muhammadiyah (IKM), 1961, organ Muhammadiyah.
6.    Kesatuan Karyawan Buruh (KEKARBU), 1960, organ MKGR.
7.    Kesatuan Buruh Marhaenisme (KBM), 1964, organ Partai Nasional Indonesia.
8.    Konsentrasi Golongan Karya Buruh (KONGKARBU), 1968, organ SOKSI.
9.    Persatuan Karyawan dan Buruh Indonesia (PERKABI), 1968, organ KOSGORO.
Keinginan untuk menyederhanakan kehidupan partai politik tetap ada, namun berhubung Undang-Undang Pemilu saat itu mengacu sistem liberalistis, maka tidak kurang dari 29 partai politik yang muncul dalam DPR hasil Pemilu 1955. Sebagai rentetan perjuangan pengembalian Irian Jaya yang merupakan bagian dari bekas Hindia Belanda, pada 1956.  Pemerintah mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan milik Belanda (nasionalisasi). Oleh karena itu Serikat Buruh - Serikat Buruh perlu dikoordinir kegiatannya agar tidak mengganggu perekonomian. Untuk kepentingan tersebut, dibentuk kerjasama Serikat Buruh dengan pihak militer guna menjamin stabilitas ekonomi. Serikat Buruh yang tergabung dalam BKS BUML adalah : KBKI,  SOBSI, KBSI, SBII, HISSBI, SOBRI, GOBSI Indonesia, dan SARBUMUSI.
Pada masa ini, disahkanlah  UU No 21 Tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan. Undang-Undang itu mengakui keberadaan Serikat Buruh dalam pembuatan perjanjian perburuhan. Selain itu juga disahkan UU No 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dengan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1958 dinyatakan mulai berlaku sejak 1 Juni 1958.  Kasus yang muncul dalam perselisihan buruh sebagian besar masih merupakan perselisihan normatif dan berkaitan dengan upah. Diantara putusan P4 ada yang berkaitan dengan kebijakan yaitu berkaitan dengan menaikkan upah melebihi upah yang telah diperjanjikan sebelumnya. Misalnya  Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat No. P4/M/52/86   tanggal 16 Pebruari-P4 -4842 1952 antara SB Tambang Indonesia Tjabang Tanjung Pinang di Tanjung Pinang, melawan NV Nibem, di Tanjung Pinang  memutuskan majikan diwajibkan untuk menaikan upah beserta tunjangannya karena biaya hidup lebih besar dibandingkan dengan yang ditawarkan majikan saat awal kontrak kerja.
Terhadap Putusan  P4 tidak dapat dimintakan kasasi, seperti dalam  Putusan Mahkamah agung tanggal 9 Juni 1952  Reg. Nr 37/Ksip/1952. N.V. Maatschappij “Sampurna” melawan “Serikat Buruh film Indonesia cabang Surabaya” dan memutuskan bahwa terhadap putusan Panitia Pusat tidak dapat dimintakan kasasi.
Peraturan yang berkaitan dengan hak berserikat buruh, terjadi pada tahun 1956, yaitu Konvensi ILO No. 98  diratifikasi dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956 tentang ratifikasi Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama (TLN No. 42 tahun 1956).

4.    Masa demokrasi terpimpin (5  Juli 1959 – 1965)
Masa demokrasi terpimpin diawali dengan adanya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Pengaruh politik nasional saat itu sangat berpengaruh kepada kegiatan Serikat Buruh yang lebih bersifat umum bukan untuk mengusahakan kepentingan buruh.  Keadaan ini dilatarbelakangi adanya keadaan dimana Konstituante yang ditugasi menyusun UUD untuk mengantikan UUDS 1950, tidak berhasil melaksanakan tugasnya. Pada 5 Juli 1959, presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali menggunakan UUD 1945, dan mulai diterapkan Demokrasi terpimpin. DPR yang akan dibekukan, dan diganti dengan DPR Gotong Royong (DPR GR) dimana tidak ada lagi oposisi.
Pada 1960, pemerintah menganjurkan dibentuknya Organisasi Persatuan Pereja Indonesia (OPPI) sebagai wadah untuk memepersatukan seluruh SP yang ada. Sebagian besar SP menyambut baik, dan menyetujui anjuran tersebut. Tetapi usaha itu tidak berhasil karena ditentang oleh SOBSI yang berafiliasi dengan PKI.
Pada 1961, sebagai bagian dari TRI komando Rakyat (Trikora) dalam rangka perjuangan mengembalikan wialayah Irian Barat, dibentuk sekretariat Bersama buruh (Sekber Buruh). SP-SP yang tergabung dalam Sekber Buruh terdiri dari KBKI, SOBSI, HISSBI, GASBIINDO, SOBRI, GOBSI Indonesia, SARBUMUSI, KESPEKRI, GSBI, dan Kubu Pancasila.
Pada 30 September 1965 terjadi pemberontakan G-30- S/PKI yang berhasil digagalkan oleh ABRI dan rakyat. SP yang berafiliasi dengan PKI yaitu SOBSI terlibat dalam pemberontakan tersebut, dan dibubarkan. Banyak pemimpin, aktivis dan kader SOBSI ditangkap, diadili dan dipenjarakan.

5.     Masa Orde Baru (30 September 1965 – 1998)
Pada 1966 lahir gerakan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto untuk membentuk tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berlandaskan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sebagai koreksi total atas Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno.
Untuk mendukung Orde Baru, Sekber Buruh membentuk wadah perjuangan Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) yang bersama-sama dengan kesatuan-kesatuan aksi lainnya (KAMI, KAPPI, KASI)  berperan serta aktif menegakkan Orde Baru. SP-Sp yang tergabung dalam KABI terdiri dari : GASBIINDO, KBKI, SARBUMUSI, GOBSI Indonesia, KBIM, KESPEKRI, KUBU Pancasila dan KBM (Osa Oesep).
Perjuangan KABI bersifat politis, sedang perjuangan sosial-ekonomis tetap dilakukan oleh Sekber Buruh. Hasrat dan keinginan kaum pekerja untuk menyederhanakan dan mempersatukan gerakan Serikat Buruh terus berkembang. Pada 1 Nopember 1969 Sekber Buruh membentuk Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) MPBI merupakan wadah komunikasi dan konsultasi antar sesama anggota yang anggotanya terdiri dari 21 SP yaitu :
1.    GASBIINDO ( Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia)
2.    KUBU Pancasila (Kesatuan Buruh Pancasila).
3.    KONGKARBU ( Konsentrasi Nasional Gerakan Karya Buruh)
4.    GOBSI ( Gabungan organisasi Buruh Serikat Islam Indonesia)
5.    KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis)
6.    KBIM (Kongres Buruh Islam Merdeka)
7.    SOBRI ( Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia)
8.    GERBUMI (Gerakan Buruh Muslim Indonesia)
9.    GSBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia)
10.    SABUMUSI  (Serikat Buruh Muslim Indonesia)
11.    PERKABI ( Persatuan Karyawan Buruh Indonesia)
12.    KESPEKRI (Kesatuan Pekerja Kristen Indonesia)
13.    FBI Indonesia (Federasi Buruh Islam Indonesia)
14.    PORBISI (Persatuan Organisasi Buruh Isalam Indonesia)
15.    KBKI (Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia)
16.    SOB Pancasila (Sentral Organisaso Buruh Pancasila)
17.    IKM (Ikatan karyawan Muhammadiyah)
18.    KBSI (Kongres Buruh Seluruh Indonesia).
19.    KEKARBU (Kasatuan Karyawan Buruh)
20.    PGRI (Paersatuan Guru Republik Indonesia)
21.    SSPPT (Serikat Pekerja Pegawai Pos, Telepon dan Telegrap)
Memasuki kurun waktu 1970an, pemerintah melakukan penyederhanaan partai-partai melalui fusi, sehingga berhasil melahirkan tiga partai politik yaitu Partai Demokrasi Indonesia (fusi PNI, Parkindo, IPKI dan Murba) dan Partai Persatuan Pembangunan (fusi PNI, Parkindo, IPKI dan Murba) dan Partai Persatuan Pembangunan (fusi Parmusi, PSII, Perti dan NU), seta Golongan Karya. Fusi partai-partai politik ini membawa pengaruh pada SP-SP yang menjadi organnya. SP tidak lagi terikat atau tergantung pada partai politik, mereka bebas menentukan asas, tujuan dan kebijaksanaan sendiri. 
Peraturan yang berkaitan dengan hak berserikat buruh, adalah UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai tenaga kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 yaitu :
(1)    Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja
(2)    Pembentukan perserikatan tenaga kerja dilakukan secara demokratis.
Momentum penyederhanaan dan penyatuan serta kemandirian SP dimanfaatkan oleh para pemimpin dan aktivis SP untuk merealisir persatuan dan kesatuan SP seluruh Indonesia. Tekad membentuk satu wadah kaum pekerja ini tertuang dalam Deklarasi Persatuan Buruh seluruh Indonesia tanggal 20 Pebruari 1973 yang membentuk Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Agus Sudono terpilih menjadi Ketua Umum pertama FBSI. SP-SP yang meleburkan diri ke dalam FBSI pada waktu itu terdiri dari 21 SP yang tergabung dalam MPBI, kemudian terintegrasi dan terorganisir dalam 21 Serikat Buruh atas dasar lapangan pekerjaan dan profesi sebagai berikut :
1.    SB Pertanian dan perkebunan (SBPP)
2.    SB Rokok dan tembakau (SBRT)
3.    SB Bangunan dan pekerjaan Umum (SBBPU)
4.    SB Tekstil dan Sandang (SBTS)
5.    SB Makanan dan  minuman (SBMM)
6.    SB Pariwisata (SBPAR)
7.    SB Perkayuan (SBP)
8.    SB Elektronik (SBE)
9.    SB Karet dan Kulit (SBKK)
10.    SB Asembling, Mesin dan Perbengkelan (SBAMP)
11.    SB Niaga, Bank dan Asuransi (SBNIBA)
12.    SB Farmasi dan Kimia (SBFK)
13.    SB Logam dan Keramik (SBLK)
14.    SB Kesehatan (SBKES)
15.    SB karyawan Maritim Indonesia (SBKMI)
16.    SB Percetakan dan Penerbitan (SBPERPEN)
17.    SB Minyak, gas Bumi dan pertambangan umum (SBMGPU)
18.    SB Kesatuan Pelaut Indonesia (SBKPI)
19.    SB Angkutan Sungai, Danau dan Feri (SBSUNDARI)
20.    SB Angkutan Jalan Raya (SBAJR)
21.    SB Transport Udara (SBTU)
Dalam federasi tersebut, SP masing-masing sektor atau lapangan pekerjaan disatukan menjadi satu Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP) yang bersangkutan dan menjadi anggota FBSI. FBSI segera mendapat pengakuan dari dalam negeri dengan pengukuhan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri tenaga Kerja dan dengan penyatuan MPBI kedalam FBSI melalui penyerahan segala wewenang, hak dan kewajiban dan tanggung jawab. Pengakuan dari luar negeri dengan ucapan selamat dan diteruskan dengan kerjasama dari :
1.    International Labour Organitation (ILO)
2.    International Confederation of  Free Trade Union (ICFTU)
3.    World Federation of Trade Union (WFTU)
4.    SP Jerman melalui  Freidrich Ebert Stiftung (FES)
5.    SP Amerika serikat melalui Asian American Free Labour Institute (AAFLI)
Pada 1984, FBSI bersama-sama dengan SP-SP negara-negara ASEAN mendirikan ASEAN TRADE UNION COUNCIL (ATUC) untuk saling tukar informasi dan pengalaman serta hubungan kerjasama antar SP-SP negara-negara ASEAN.
Peraturan yang berkaitan dengan hak berserikat buruh, adalah
1.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. Per-01/Men/1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh
2.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. Per-02/Men/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan Perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan
3.    Peraturan Menakertranskop No.Per/02./Men/1978 tentang Peraturan Perusahaan Internal dan Negosiasi mengenai Penetapan Kontrak Kerja
4.    Peraturan Menteri tenaga Kerja No. Per-01/MEN/85 tentang pelaksanaan tata cara pembuatan kesepakatan kerja bersama (KKB)
Semangat persatuan dan kesatuan selalu didengung-dengungkan di masa Orde Baru, bahkan sering dipaksa-paksakan. Di masa itu, ditekankan dan diutamakan kesersagaman, homogenitas, kesatuan asas, kesamaan interpretasi. Situasi dan suasasna itu juga terasa dalam gerakan SP. Oleh karena itu, musyawarah Nasional kedua FBSI tanggal 23-30 Nopember 1985 ditandai dengan tekad yang kuat untuk mewujudkan kemanunggalan pekerja seluruh indonesia dalam satu wadah integrasi yang utuh.
Dalam Munas tersebut ditetapkan untuk : merubah bentuk dari federasi menjadi Unitaris (kesatuan), menyederhanakan 21 SBLP menjadi 9 Departemen dan mengganti nama FBSI menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Drs Imam Sudarwo terpilih menjadi ketua umum pertama SPSI.
Departemen- departemen yang termasuk dalam SPSI adalah :
1.    Departemen Pertanian dan Perkebunan
2.    Departemen Kimia, Energi dan Pertambangan
3.    Departemen Pariwisata, Makanan dan Minuman
4.    Departemen Niaga, Bank dan Asuransi
5.    Departemen Tekstil, Sandang dan Kulit
6.    Departemen Farmasi dan Kesehatan
7.    Departemen Logam, Elektronik dan Mesin
8.    Departemen Pekerjaan Umum dan Perkayuan
9.    Departemen Transport dan Unit Kerja Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI)
Berbeda dengan FBSI yang merupakan Federasi 21 Serikat Buruh, SPSI merupakan satu SP dengan 9 Departemen.
Untuk menumbuhkan jati diri di kalangan pekerja Indonesia, dan untuk lebih meningkatkan kebanggaan kaum pekerja Indonesia dalam pengabdiannya kepada pembangunan nasional yang dilandasi sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP) tanggal 20 Pebruari ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari pekerja Indonesia. Tanggal 20 Pebruari adalah hari lahir FBSI pada tahun 1973 melalui Deklarasi Persatuan Buruh Seluruh Indonesia.  Untuk mencegah timbulnya gangguan terhadap upaya penciptaan hubungan perburuhan yang harmonis, pemerintah melalui Keputusan Menteri tenaga Kerja No. 342/Men/1986 melibatkan aparat Pemerintah Daerah, Polisi, Militer serta Departemen Tenaga kerja untuk menanggulangi atau menghentikan pemogokan yang terjadi di suatu perusahaan.
Adanya SPSI sebagai satu-satunya Serikat Buruh yang diakui di Indonesia, merupakan pelanggaran dari pengakuan adanya hak serikat bagi buruh. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari dunia internasional. Misalnya dari Serikat Buruh ICFTU, Serikat Buruh Belanda (FNV) dan Serikat Buruh Amerika Serikat AFL-CIO . 
Pada tahun 1987, AFL-CIO telah mengajukan permohonan kepada pemerintah Amerika Serikat, yang mendesak pemerintahnya untuk mengakhiri kesempatan kepada Indonesia untuk menikmati Generalized System of preferences (GSP), dengan alasan :
-    Satu-satunya serikat buruh yang diakui hanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia SPSI) yang dianggap terlampau di dominasi pemerintah
-    Pemerintah dianggap dapat begitu saja melarang pemogokan di perusahaan tertentu.
-    Pemerintah Indonesia biasa memberikan jaminan kepada investor asing bahwa tidak akan ada gangguan serikat buruh di perusahaannya.
-    Pegawai pemerintah dan badan usaha milik negara tidak diperkenankan membentuk organisasi pekerja dan keanggotaan KORPRI disebut sebagai wajib.
Permintaan ini ditolak dengan alasan pemerintahan Indonesia sedang berusaha memperbaiki hal yang dituduhkan AFL-CIO
Atas kritikan tidak adanya kebebasan mendirikan dan menjadi anggota Serikat Buruh, pemerintah merubah nama SPSI menjadi Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) yang dimaksudkan untuk menghidupkan lagi buruh sektoral. Perubahan itu tidak berpengaruh pada keinginan pemerintah untuk menjadikan FSPSI sebagai wadah tunggal Serikat Buruh.
Bentuk Unitaris mengabaikan keaneka ragaman SP. Oleh karena itu maka heterogenitas tersebut perlu diakomodasi. Dalam musyawarah nasional III SPSI, 26 Nopember 1990, diputuskan untuk mengembangkan dan meningkatkan posisi 9 Departemen menjadi 13 Sektor, yang masing- masing mempunyai Ketua dan Sekretaris yang dipilih oleh Munas.
Selanjutnya, Musyawarah Pimpinan Kedua SPSI tanggal 3-8 Oktober 1994 mengadakan reformasi dan rektrukturisasi organisasi dalam menyempurnakan Anggaran Dasar SPSI. Dalam hal itu, bentuk Unitaris dikembalikan menjadi bentuk Federasi, dimana kedudukan 13 sektor ditingkatkan menjadi Serikat Pekerja Lapangan Pekerjaan (SPLP). Nama SPSI diganti menjadi Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) dengan afiliasi atau anggota 13 SPLP sebagai berikut :
1.    SP Niaga, Bank dan Asuransi
2.    SP Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman
3.    SP Logam, Elektronik dan Mesin
4.    SP Bangunan dan Pekerjaan Umum
5.    SP Farmasi dan Kesehatan
6.    SP Pariwisata
7.    SP Perkayuan dan Kehutanan
8.    SP Tekstil, Sandang dan Kulit
9.    SP Kesatuan Pelaut Indonesia
10.    SP Transport asi Indonesia
11.    SP Percetakan, Penerbitan dan Media Informasi
12.    SP Kimia, Energi dan Pertambangan
13.    SP Pertanian dan Perkebunan
Dengan demikian tidak hanya ada satu SP di Indonesia (SPSI) tetapi ada 13 SP (SPLP) dan  1 federasi (FSPSI).
Untuk menunjang keinginan itu, serta untuk mencegah timbulnya gangguan terhadap upaya penciptaan hubungan perburuhan yang harmonis, sesuai dengan Kepmenaker No. 342/Men/1986, Depnaker memiliki hak untuk melakukan koordinasi dengan Pemda, Kodim dan pihak Kepolisisna. Keterlibatan militer dalam menanggulangi pemogokan ini lebih dimantapkan lagi oleh Surat Keputusan Bakorstanas No. 02/.Satnas/XII/1990 tentang pedoman penanggulangan kasus hubungan industrial. Ketentuan ini mengakibatkan banyak buruh yang disiksa dan dianiaya, misalnya Marsinah, buruh PT CPS Sidoarjo yang diduga meninggal di tangan Kodim.
Prinsip tetap mempertahankan FSPSI sebagi wadah tunggal tampak pada Permenaker No. 03/Men/1993 tentang pendaftaran Organisasi pekerja. Menurut Pasal 2 , organisasi buruh yang dapat didaftarkan di Depnaker adalah gabungan Serikat Buruh yang mempunyai sekurang-kurangnya 100 unit Kerja Tingkat perusahaan yang tersebar di 25 Daerah tingkat II dan pada 5 Daerah tingkat I, atau dalam hal sifat pekerjaan yang sangat khusus harus mempunyai anggota 10.000 orang buruh yang tersebar di seluruh Indonesia. Selanjutnya gabungan serikat buruh harus mempunyai sekurang-kurangnya 10 serikat Pekerja Anggota (SPA).
Ketentuan ini mendapat reaksi yang keras dari dalam dan luar negeri. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Permenaker No. 1/Men/1994 tentang pembentukan serikat pekerja tingkat perusahaan. Peraturan itu memberi kebebasan buruh untuk membentuk Serikat Buruh di tingkat perusahaan di luar SPSI. Tetapi keinginan untuk mempertahankan SPSI sebagai wadah tunggal kaum buruh di Indonesia, tetap ada.  Permenaker No. 1/Men/1994 mensyaratkan bahwa setelah 12 bulan serikat pekerja tingkat perusahaan tersebut terbentuk, maka serikat pekerja tersebut disarankan untuk bergabung dengan SPSI. Permenaker No.01/Men/1994 mengandung kelemahan, yaitu :
a.    melokalisasi organisasi buruh
b.    memaksa organisasi buruh di tingkat perusahaan hanya bergabung dengan FSPSI
Kelemahan ini membawa akibat terhadap buruh tidak memiliki kebebasan berorganisasi
Selanjutnya pada tahun 1997, diundangkanlah UU No. 25 Tahun 1997, tentang Ketenagakerjaan yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1969. UU No. 25 Tahun 1997 keberadaannya menimbulkan perdebatan, sehingga ditunda masa berlakunya oleh UU No. 11 tahun 1998 jo. Perpu No. 3 Tahun 2000 jo UU No. 28 Tahun 2000 sampai tanggal 1 Oktober 2002.  Ketentuan Pasal 33 dari UU No. 25 Tahun 1997, yaitu
 (1)   Serikat pekerja pada perusahaan dan gabungan serikat pekerja harus terdaftar pada Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)   Pemerintah menetapkan tata cara pendaftaran serikat pekerja dan gabungan serikat pekerja.
mengandung kelemahannya  yaitu :
a.    melegalisasi campur tangan pemerintah dalam pembentukan SB
b.    mereduksi fungsi SB hanya sebatas pembuatan KKB dan wakil dalam perselisihan.
Akibat bagi buruh :
a.    tidak memliki kebebasan berorganisasi
b.    menghapus hak buruh untuk ikut menentukan kebijakan ekonomi, sosial , politik dan hukum
c.    aktivitas buruh mudah di PHK.

6.   Masa  Reformasi    (21 Mei 1998 - sekarang)
Gerakan reformasi timbul pada tahun 1998 sebagai reaksi terhadap krisis ekonomi, sosial dan politik yang diakibatkan karena berbagai sebab yang kompleks, termasuk membengkaknya hutang luar negeri, kredit perbankan yang tidak terkendali, pemusatan kekuasaan eksekutif, merajalelanya kolusi-korupsi- nepotisme (KKN), ekonomi biaya tinggi, konglomerasi. Selain itu semangat privatisasi, liberalisasi ekonomi pasar, makin tingginya kesadraan akan hak-asasi manusia dan tuntutan demokratisasi.
Puncak gerakan reformasi terjadi pada 21 Mei 1998 dengan berhentinya Presiden Soeharto, yang berarti berakhirnya masa Orde Baru. Wakil presiden BJ Habibie yang disumpah sebagai Presiden RI ketiga segera membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan dan menyusun agenda reformasi, termasuk Sidang istimewah MPR sendiri kemudian menghasilkan dua belas Ketetapan yang bersifat reformis, termasuk pokok-pokok reformasi pembangunan, pemebersihan dan poembebasan KKN,  pengajuan jadual pemilihan umum, hak asasi manusia, perimbangan keuangan pusat dan daerah dan politik ekonomi dalam demokrasi ekonomi.
Selain itu, Pemerintah meratifikasi Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, 1948 (No. 87) dengan Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998. Demikian juga dikeluarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum. Sedangkan Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama, 1949 (No. 98) telah lama diratifikasi dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956.
Hasilnya lahir berbagai partai politik baru. Sampai akhir tahun 1998, daftar sementara partai politik yang menyampaikan surat pembentukan partai ke Departemen dalam Negeri menunjukkan jumlah 123 partai politik. Meskipun sebagian besar menggunakan asas Pancasila, tetapi ada juga yang berasaskan Islam, seperti Partai Islam Demokrat (PID) dan Partai Keadilan; Asas Al Quran dan Hadist seperti Partai Demokrat Islam Republik Indonesia (PADRI); Asas demokrasi liberal Universal seperti Partai Demokrasi Liberal; Asas Marhaenisme, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI). Fenomena tersebut terjadi sebelum ditetapkannya dan diundangkannya Undang-Undang tentang partai politik.
Demikian juga, lahir berbagai SP baru. Sampai akhir tahun 1998, daftar organisasi pekerja yang telah menyatakan berdiri pada Departemen Tenaga Kerja berjumlah 14 SP.
1.    Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI)
2.    Presidium DPP Reformasi FSPSI
3.    Federasi Serikat Buruh Demokrasi Seluruh Indonesia (FSBDSI)
4.    Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)
5.    Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
6.    Persaudaraan Pekerja Muslimin indonesia (PPMI)
7.    Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (GASPERMINDO)
8.    Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Oerbankan Indonesia
9.    Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM)
10.    Kesatuan Pekerja Nasional Indonesia (KNPI)
11.    Ikatan Staf Indonesia PT London Sumatera Indonesia
12.    Gabungan Organisasi Serikat Pekerja PT Adora (OPA)
13.    Serikat Pekerja Kewartawanan Indonesia (Serikat Pewrta) 
Jumlah tersebut masih dapat bertambah di kemudian hari, sesuai perkembangan situasi dan kondisi sosial, ekonomis dan politis. Pada tanggal 27 Mei 1998 keluarlah Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/MEN/1998 tentang pendaftaran organisasi pekerja, isinya :
1.    organisasi pekerja yang didaftar sesuai Permenaker No. 03/MEN/1993 jo No. 04/MEN/1994 dapat tetap menjalankan fungsinya.
2.    merupakan alat control dan pengendali pemerintah terutama dalam menentukan asas dan tujuan organisasi
       Pasal 3
-    mewajibkan setiap organisasi buruh mencantumkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas organisasi dalam Anggaran Dasar dan anggaran Rumah Tangga
-    Tujuan organisasi telah ditetapkan meliputi :
(1)    meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya
(2)    peningkatan ketrampilan, pengetahuan dan produktivitas
(3)    meningkatkan perlindungan anggotanya.   

Dalam hal ini, kelemahannya :
a.    Depnaker mencampuri penentuan bentuk dan struktur organisasi buruh
b.    Mensistemisasi control Depnaker terhadap pembentukan SB mulai tingkat perusahaan sampai tingkat nasional.
c.    Mengubah syarat administrative menjadi syarat yurisdiksi.

Akibat terhadap buruh :
a.    Tidak memiliki kebebasan berorganisasi
b.    Tidak memiliki organisasi buruh yang independent untuk memperjuangkan kepentingannya
c.    Pemerintah hanya akan mengakui Organisasi buruh korporatif.
Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga Negara. Untuk mewujudkan kemerdekaan berserikat pekerja,/buruh berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Serikat pekerja/serikat buruh merupakan syarat untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
Keberadaan serikat pekerja saat ini lebih terjamin dengan diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja / serikat buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No. 3898). Sebelum adanya UU No. 21 Tahun 2000, kedudukan serikat pekerja secara umum dianggap hanyalah sebagai kepanjangan tangan atau boneka dari majikan, yang kurang menereskan aspirasi anggotanya. Hal ini karena pada masa Orde Baru serikat pekerja atau serikat buruh hanya diperbolehkan satu yaitu serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI). Pada masa Orde Baru itu pulalah muncul suatu serikat buruh tandingan SPSI yaitu serikat buruh seluruh Indonesia (SBSI) di bawah Mochtar Pokpohan. Karena tidak dikehendaki oleh pemerintah Soeharto, akhirnya ia ditahan dan bebas setelah era reformasi.
Pada masa reformasi setelah adanya UU NO. 21 Thaun 2000 dimungkinkan dibentuk serikat buruh/ pekerja lebih dari satu. Hal ini menyebabkan keberadaan serikat pekerja/serikat buruh banyak didirikan di satu perusahaan. Sayangnya karena ketidak siapan buruh melaksanakan hak berserikat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingannya sendiri dengan menjual bangsa. Dikatakan demikian karena berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000 diperbolehkan serikat pekerja / buruh itu menerima sumbangan dana dari negara lain. Sering pula keberadaan serikat pekerja/ buruh yang lebih dari satu jumlahnya di satu perusahaan justru memicu terjadinya perselisihan perburuhan yang dapat berakibat mogok kerja yang seharusnya justru bertentangan dengan tujuan disahkannya UU No. 21 tahun 2000 tersebut.
Penegertian Serikat pekerja/serikat buruh berdasarkan  Pasal 1 angka 1 UU No. 21 tahun 2000, yaitu :
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Pasal ini tidak dijadikan dasar dalam Pasal- Pasal selanjutnya, dan  bertentangan dengan prinsip hak berserikat buruh,  misalnya Pasal 2 ayat (2),
Pasal 2 ayat (2) Serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.  Ketentuan ini mengharuskan setiap Serikat buruh hanya boleh ada di Indonesia asalkan mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini bertentangan dengan prinsip hak berserikat, khususnya kebebasan organisasi untuk berfungsi : menjamin kerangka kegiatan ; administrasi, aktivitas dan program.
Pasal 4 ayat (1), Serikat Pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.  Hal ini sama juga membatasi tujuan Serikat Buruh. Tidak boleh dirumuskan tujuan lainnya.
Pasal 4 ayat (2), yaitu  Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi :
a.    sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
b.    sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
c.    sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraaturan perundang-undangan yang berlaku;
d.    sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e.    sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.    sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan.
Hal ini dapat ditafsirkan sama juga membatasi fungsi Serikat Buruh. Tidak boleh dirumuskan fungsi  lainnya, misalnya yang berkaitan dengan solidaritas antar Serikat buruh internasional.
Pasal 5 ayat (1), yaitu  Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh. Jumlah ini terlalu sedikit, dan terlalu longgar. Akan berdampak negative dengan kemungkinan muncul 100 Serikat Buruh dalam satu perusahaan yang mempunyai buruh 1000 orang.
Pasal 9, Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun. Ketentuan ini dilemahkan oleh Pasal-Pasal lainnya. Misalnya  berdasarkan surat telegram Kapolri No. Pol STR/227/2001 tertanggal 31Mei 2001 dan surat Kapolda Metro Jaya No. Pol :  B/6741/VIII/1997 Datro tertanggal 5 Agustus 1997, secara jelas melarang anggota satpam berserikat karena mengganggap Satpam sama seperti polisi.  Adanya alasan mengapa satpam tidak mempunyai hak untuk berserikat hanya ditik beratkan pada  alasan keamanan Negara. Ada ketakutan pada Polri selaku petugas penjaga keamanan akan pemberian hak berserikat bagi satpam. Ketakutan akan keberpihakan satpam dalam membela kelompok pekerja/ buruh yang satu serikat dengannya. Hal ini tidak dapat dibenarkan. Termasuk pegawai negeri yang hanya dapat berorganisasi di Korpri saja.
Pasal 18 ayat (1), Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat. Pasal ini dilemahkan denagn ketentuan Pasal 25 ayat (1), berkaitan dengan hak atau kewenangan Serikat Buruh yang telah dicatatkan. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), yaitu : Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
a.    membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b.    mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c.    mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d.    membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e.    melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi pencatatan ini, ternyata dijadikan dasar bagi keabsahan atau pengakuan keberadaan serikat Buruh. Hanya Serikat Buruh yang didaftarkan saja yang dapat berperkara di Pengadilan Hubungan industrial.
Pasal 29, yaitu :
1.    Pengusaha harus memberikan kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama.
2.    Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama dalam ayat (1) harus diatur mengenai:
a.    jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;
b.    tata cara pemberian kesempatan;
c.    pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah
Pasal ini  membatasi aktivitas pengurus Serikat Buruh dalam menjal;ankan organisasinya.
Pasal 31 ayat (1), Dalam hal bantuan pihak lain, berasal dari luar negeri, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada awalnya tujuan adanya pemberitahuan laporan keuangan kepada instansi adalah pencegahan terhadap tindak penyalahgunaan yang dilakukan pengurus Serikat Buruh. Dikhawatirkan pemberitahuan laporan keuangan itu akan memudahkan pemerintah dalam mencampuri program kerja Serikat Buruh.
Pasal 36, dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak mencapai kesepakatan, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, perselisishan ini menjadi kewenangan Pengadilan hubungan industrial, yang semestinya menjadi kewenangan arbitarse karena menyangkut kebijakan.











Daftar Pustaka
Aloysius Uwiyono, Hak mogok di Indonesia,  Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.
HP Rajagukguk, “Perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja : suatu tinjaun dari sudut sejarah hukum”, Disertasi, Universitas Indonesia,  Jakarta
K, “Usaha penjelesaian perselisihan perburuhan dalam tahun 1951” Tindjauan masalah perburuhan No. ½ Th IV, Mei-Juni 1952
Menteri Perburuhan, “Perdjoangan kita dalam lapangan Perburuha”, Tindjauan masalah perburuhan 1951
Sentanoe Kertonegoro, Gerakan serikat Pekerja (Trade Unionism) Studi kasus Indonesia dan negara-negara Industri., Yayasan Tenaga Kerja Indonesia( YTKI), Jakarta, 1999.
Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, TURC, Jakarta, 2007
Situasi perburuhan dalam negeri, Tindjauan masalah perburuhan 1951.
Rachmad Syafa’at, Gerakan Buruh dan Pemenuhan Hak Dasarnya, In-TRANS Publishing, Malang, 2008,
TURC, ABC Hak-Hak Serikat Buruh, TURC, Jakarta, 2005
YLBHI, Pokok-Pokok Pikiran Reformasi Politik Perburuhan Nasional, YLBHI, Jakarta, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar